Arif Rachman: Tolak Perintah Atasan di Polri Tak Semudah Baca Aturan
Arif Rachman Arifin mengaku sangat tertekan saat bertemu Ferdy Sambo usai pembunuhan Brigadir J.
Arif Rachman Arifin menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi sebagai terdakwa kasus obstruction of justice perkara kematian Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Dalam kesempatan itu, dia mengatakan bahwa sikap menolak perintah atasan di Polri tidaklah semudah peraturannya.
-
Apa sanksi yang diterima Ferdy Sambo? Ferdy Sambo diganjar sanksi Pemecetan Tidak Dengan Hormat IPTDH).
-
Siapa yang memimpin Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Siapa Brigadir Jenderal Sahirdjan? Bapak Itu Brigadir Jenderal Sahirdjan, Guru Besar Akademi Militer!
-
Siapa Fredy Pratama? "Enggak (Tidak pindah-pindah) saya yakinkan dia masih Thailand. Tapi di dalam hutan," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa, Rabu (13/3).
-
Siapa yang berhaji bersama Fadil Jaidi? Selebriti Fadil Jaidi, Usia 30 Tahun, Berhaji Bersama Keluarga.
-
Siapa yang ikut berlibur bersama Femmy Permatasari? Femmy Permatasari menikmati liburan di Jepang bersama kedua anak perempuannya. Ia terlihat awet muda dan seperti sebaya dengan kedua anaknya.
"Sungguh tidak semudah membaca kalimat dalam peraturan tentang menolak perintah atasan, tidak semudah melontarkan pendapat kalau saja begini, jika saja begitu, mengapa tidak melakukan ini, mengapa tidak bersikap begitu," tutur Arif Rachman di PN Jaksel, Jumat (3/2).
Dalam pleidoi yang diberi judul 'Penyalahgunaan Keadaan oleh Atasan Terhadap Bawahan Sehingga Menyebabkan Dilema Moral', Arif Rachman mengulas situasi saat Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi menangis sedih. Ada perasaan empati besar yang timbul dalam hatinya.
"Saya seperti terkondisikan oleh rasa empati sehingga tidak ada pemikiran janggal saat itu. Raut muka FS dan PC yang terlihat saat itu sangat menyedihkan, seperti terpukul oleh kejadian yang menimpa ibu," jelas dia.
Menurut Arif Rachman, Ferdy Sambo tampak emosional kala itu. Mantan atasannya itu juga mengumpat dan melontarkan ancaman sehingga suasana menjadi tegang.
"Keadaan demikian yang muncul dalam setiap kontemplasi saya. Antara logika, nurani dan rasa takut dalam diri Saya bercampur,” sambung Arif Rachman.
Dia pun menerangkan bahwa ada suatu budaya organisasi di Polri yang berdampak pada mengakarnya Rantai Komando. Hubungan berjenjang yang biasa disebut sebagai relasi kuasa itu bukanlah sekedar ungkapan saja. Namun suatu pola hubungan yang nyata dalam memberikan batasan-batasan tegas antara atasan dan bawahan.
“Kondisi rentan penyalahgunaan keadaan ini mungkin tidak bisa dengan mudah dipahami semua orang. Beragam praduga bersalah terhadap saya mungkin dipengaruhi oleh predikat saya sebagai penegak hukum. Seorang lulusan Akademi Kepolisian, berpangkat AKBP dengan setumpuk pengalaman di berbagai bidang, seakan menjadi suati nilai kepastian dengan predikat demikian pasti akan selalu memiliki kemampuan untuk menolak perintah atasan,” ujar Arif Rachman.
Padahal, lanjutnya, budaya organisasi tersebut sangatlah berdampak hingga sangat rentan terjadi penyalahgunaan keadaan karena ada relasi kuasa. Sementara, predikat Arif Rachman tetap hanyalah bawahan di bawah kendali atasannya.
”Bawahan yang dalam relasi kuasa berada di bawah kendali atasan dan manusia biasa yang memiliki takut sebagai salah satu emosi dasar yang muncul sebagai respon atas peristiwa yang menimpa saya,” ujarnya.
“Berbagai pertanyaan dilontarkan banyak pihak, Mengapa? Mungkinkah? Seorang penegak hukum yang paham hukum, seorang dengan predikat seperti itu, mengapa memilih diam saja? Mengapa takut berterus terang? Bahkan ada juga yang dengan mudah berasumsi kemudian menuduh tanpa empati bahwa ada kesengajaan dalam diri saya untuk membantu menghalangi,” Arif Rachman menandaskan.
Reporter: Nanda Perdana Putra
Sumber: Liputan6.com.
(mdk/tin)