Berdalih bertanya, warga bantah sandera 7 anggota KLHK
Ketujuh anggota KLHK sedang melakukan investigasi penyebab kebakaran lahan sawit di Rokan Hulu dan Hilir.
Puluhan warga di dua desa di Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir, Riau, membantah telah menyandera tujuh penyidik PNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat (2/9). Mereka berdalih hanya menahan sementara.
"Maksud kami hanya sekedar ingin bertanya. Ingin memberi tahukan kepada anggota tim Ibu (Siti Nurbaya). Sesuai adat istiadat kami, kami ingin bertanya (bukan menyandera)," ujar Ketua Badan Pemberdayaan Desa Bonai, Rokan Hulu, Jefriman saat konferensi pers di salah satu hotel di Pekanbaru, Senin (5/9).
Jefriman tetap menyampaikan permintaan maaf warga kepada Menteri Siti Nurbaya, atas kesalahpahaman tersebut.
"Mungkin apa yang kami lakukan salah menurut hukum. Lewat kawan-kawan wartawan kami menyampaikan permintaan maaf kepada Ibu Menteri," kata Jefriman.
Ketujuh penyidik dinyatakan Siti Nurbaya disandera warga yang terprovokasi oleh perusahaan, saat melakukan penyegelan di lahan bekas terbakar, di perkebunan kelapa sawit.
Menurut Jefriman kronologis kejadian saat itu masyarakat spontan atas apa yang dilakukan tim KLHK yang melakukan penyegelan dan memasang pancang. Masyarakat spontan melihat tindakan itu bertanya kepada petugas dan membawa mereka untuk berdiskusi.
Petugas KLHK juga tidak dikenali. Menurutnya, mereka datang tanpa didampingi perwakilan pemerintah daerah.
"Apa yang kita lakukan itu spontanitas. Rasa tidak terima kita atas apa yang dilakukan petugas KLHK. Mereka lakukan penyegelan, pasang plang. Setiap pekerjaan di suatu tempat ini menurut saya (seharusnya) bekerja sama dengan Pemda. Mereka akan melakukan ini dan itu. Kami dari lembaga atau pemerintahan setempat bersedia menemani," kata dia.
Jefriman mengatakan, aksi yang dilakukan warga bukan bentuk pengancaman, apalagi sampai melakukan kontak fisik. Dia juga membantah pernyataan Menteri Siti, yang menyatakan penyidik dipaksa menghapus foto hasil proses penyelidikan.
Yang terjadi, menurut Jefriman, justru mereka menyerahkan sendiri data yang telah mereka kumpulkan dan mencabut plang penyegelan.
"Kami tidak ada paksa petugas mencabut dan membongkar peralatan yang mereka bawa. Tetapi mereka menawarkan, kalau bapak keberatan akan dihapus," katanya menirukan ucapan staf KLHK.
Sementara itu, terkait areal perkebunan yang terbakar dan yang mereka kelola, Jefriman menyebutkan bahwa lahan itu merupakan lahan milik mereka turun temurun. Perusahaan PT Andika Pratama Sawit Lestari, dimintakan untuk mengelola lahan tersebut.
Pengelolaan lahan dilakukan untuk menyambung kehidupan dari hasil perkebunan. Selama ini mereka hanya mengandalkan penghidupan dari hasil bercocok tanam.
"Satu-satunya usaha kami dengan membangun kebun di atas tanah suku Ninik Mamak, yang hasilnya akan dibagikan kepada anak kemenakan," ucapnya.
Menurutnya masyarakat mulai menanami lahan tersebut sejak tahun 2008 silam. Saat ini kondisi kelapa sawitnya sudah ada yang berbuah. Mereka justru balik bertanya kebakaran yang terjadi tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat secara sengaja di saat hampir panen.
Api menurut mereka berasal dari luar areal perkebunan, yang menjalar dibawa angin, sehingga perkebunan terbakar, dan gagal panen.
Penjelasan tersebut disampaikan Ketua Kelompok Tani Melayu Terpadu Desa Siarang-arang Kecamatan Pujud, Rokan Hilir, Ajirnarudin. Menurutnya, warga juga bekerja sama dengan PT APSL.
"Terbangun di atas lahan 3.300 hektare. Sawit kami ada yang berumur 4 tahun, mulai berbuah. Ada yang umur 2 tahun, 3 tahun, dan setahun. Namun musibah datang menimpa. Tanggal 22 Agustus 2016 kebun yang kami bangun dimasuki titik api. Pertama, dari sebelah timur masuk kebun sebelah barat. Ini dapat terkendali,"ujar Ajirnarudin.
Hal senada disampaikan Legal PT APSL, Novalina Sirait. Dia mengatakan kalau perusahaan tidak memiliki lahan di kawasan tersebut. Perusahaan bekerja sama untuk mengelola lahan.
"Untuk meluruskan, lahan yang terbakar itu lahan kelompok tani. Api berasal dari kebun orang, dan sudah ada laporan polisinya. Kalau diliat, siapa yang paling dirugikan, tentu masyarakat. Dan tidak mungkin masyarakat mau membakar lahan mereka sendiri," pungkas Novalina.