Bom di Mapolres Solo balas dendam kematian calon menantu Santoso?
"Serangan ini mirip tahun 2013, terjadi di Mapolresta Poso dan juga berhasil digagalkan."
Ledakan bom bunuh diri terjadi di Mapolresta Solo, Jawa Tengah. Pelaku Nur Rohman tewas seketika dengan paha hingga punggungnya hancur. Ditenggarai ISIS berada di balik teror mengerikan ini.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, melihat pola serangan bom bunuh diri di Mapolresta Solo serupa dengan kejadian di Mapolresta Poso, 2013 lalu. Saat itu, pelaku Zainul berhasil diadang sebelum meledakkan diri. Zainul adalah warga Lamongan dan merupakan simpatisan kelompok Santoso di Poso.
Menurut Ridwan, kemiripan pola tersebut menunjukkan teror bom di Solo masih berhubungan erat dengan kelompok Santoso. "Serangan ini mirip tahun 2013, terjadi di Mapolresta Poso dan juga berhasil digagalkan. Ini jejaring Solo yang simpati ke Santoso dan ISIS," katanya di Solo, Selasa (5/7).
Karena itulah, Ridwan juga menduga bom bunuh diri di Solo ada kaitannya dengan terbunuhnya calon menantu Santoso yang bernama Dodo alias Ponda beberapa waktu lalu. Dodo tewas dalam kontak senjata antara aparat gabungan TNI-Polri di Desa Torire, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pada Minggu 28 Februari 2016.
Informasi dihimpun merdeka.com, Dodo merupakan orang kepercayaan Santoso. Dodo kerap diberi tugas mempublikasikan setiap aktivitas kelompok tersebut ke pihak luar melalui internet. Biasanya aktivitas itu berupa video ajakan berjihad dan pernyataan perang terhadap negara selama ini di Youtube.
Dodo jua diketahui sebagai calon menantu Santoso. Rencananya dia akan dinikahkan dengan W, putri tertua Santoso yang kini sedang nyantri di Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Tengah.
"Polisi sebagai sasaran balas dendam. Ini qishash, darah balas darah, nyawa balas nyawa. Tapi, salah sasaran," katanya.
Menurutnya, kelompok ini selalu mencari titik lemah di kepolisian. Misalnya kantor yang sepi. "Mereka tidak mempunyai kemampuan melakukan serangan besar, karena itu bahan apa adanya, "katanya.
Koordinator Indonesia Inteligence Institute itu mengingatkan agar pemerintah tidak lengah. "Kewaspadaan maksimal, bahkan kalau perlu dalam level siaga 1 di seluruh Indonesia, "tutupnya.