BPK temukan banyak proyek pembangunan listrik PLN mangkrak
Pembangunan PLTU mangkrak di antaranya PLTU tanjung Balai Karimun, PLTU ambon, PLTU 2 NTB, dan PLTU Kalbar 1 dan 2 mangkrak.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) menemukan masalah atas pengelolaan rantai suplai proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW periode 2006-2016, dan penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional Ketenagakerjaan. Temuan BPK itu dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016.
IHPS II Tahun 2016 merupakan ringkasan dari 604 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK di semester II tahun 2016. LHP tersebut meliputi 81 LHP (13 persen) pada pemerintah pusat, 489 LHP (81 persen) pada pemerintah daerah dan BUMD, serta 34 LHP (6 persen) pada BUMN dan badan lainnya.
Kepala BPK Harry Azhar Aziz mengatakan pihaknya menemukan kesimpulan bahwa PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu menjamin kesesuaian dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan BPK menemukan sejumlah pembangunan PLTU mangkrak. Di antaranya PLTU tanjung Balai Karimun, PLTU ambon, PLTU 2 NTB, dan PLTU Kalbar 1 dan 2 mangkrak.
"Permasalahan yang perlu mendapat perhatian antara lain pada pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, dan PLTU Kalbar 2 terhenti (mangkrak) serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak," kata Harry di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/4).
Mangkraknya pembangunan PLTU ini, kata Harry, membuat pengeluaran PLN membesar sebesar Rp 609,54 miliar dan USD 78,69 juta. Akibatnya negara berpotensi merugi karena tidak mendapat manfaat dari pembangunan proyek tersebut.
"PLN juga belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan USD 102,26 juta," jelas dia.
BPK juga menyoroti soal penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional (JSN) Ketenagakerjaan. Menurutnya, ada beberapa masalah yang hingga saat ini masih perlu mendapat perbaikan. Semisal sinkronisasi UU No. 24 Tahun 2011 soal tentang jaminan sosial, kemudian program jaminan hari tua hingga jaminan pensiun.
"Soal ketidaksinkronan UU No. 24 Tahun 2011 dengan peraturan terkait jaminan sosial, perbedaan manfaat atas berbagai jenis beserta jaminan sosial, serta dualisme makna pensiun dalam program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun," pungkasnya.
Untuk diketahui, temuan lain yang dimuat dalam IHPS II Tahun 2016 adalah hasil pemeriksaan kinerja pengelolaan kas pemerintah. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kewenangan dan lingkup, manajemen perencanaan kas, dan pengelolaan saldo kas belum efektif untuk menjamin likuiditas dan optimalisasi kas pemerintah.
Salah satunya ditunjukkan dengan adanya 8.251 rekening pemerintah senilai Rp 17,97 triliun per 31 Oktober 2016 yang tidak tercatat dalam penatausahaan rekening pemerintah.