Cegah Bisnis Rapid Test
"Ya itu lah, kami sudah mengingatkan, agar tidak ada unsur bisnis dalam rapid test. Karena hal itu menjadi kebutuhan sebuah negara untuk menjaga masyarakatnya," tuturnya.
Ical terpaksa pergi ke klinik, meski dirinya merasa sehat dan baik-baik saja. Tak punya pilihan, remaja asal Bekasi ini diwajibkan membuat surat kesehatan bebas Covid-19.
Surat tersebut dipakai sebagai syarat untuk bisa kembali mengenyam pendidikan di sebuah pesantren. Ironisnya, tidak gratis, dia harus merogoh kocek tak sedikit demi surat dan rangkaian tes cepat atau rapid test.
-
Di mana kasus Covid-19 pertama di Indonesia terdeteksi? Mereka dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020, setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Siapa yang dinyatakan positif Covid-19 pertama di Indonesia? Menurut pengumuman resmi dari Presiden Joko Widodo, kasus Covid-19 pertama di Indonesia terjadi pada dua warga Depok, Jawa Barat, yang merupakan seorang ibu berusia 64 tahun dan putrinya berusia 31 tahun.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
Sabtu, (20/6) sore, Ical tiba di klinik milik BUMN. Sang perawat langsung menawarkan sejumlah paket tes Covid-19. Harga paling murah Rp500 ribu.
Untuk harga Rp500 ribu, mencakup rangkaian rapid test sekaligus surat keterangan sehat. Sedangkan harga Rp650 ribu, mencakup rangkaian rapid test, surat keterangan sehat, dan suntik vitamin C.
Sejumlah rangkaian pemeriksaan pun dimulai. Dari pemeriksaan tinggi badan, berat badan, sampai wawancara dengan dokter terlebih dahulu.
"Sebelum rapid test saya ingin wawancara dulu. Ada pertanyaan wajib yang harus ditanyakan," kata sang dokter yang mengenakan masker, tanpa APD lengkap.
Sedikitnya ada 10 pertanyaan, meliputi aktivitas pemohon surat dua minggu terakhir, menanyakan gejala yang mengarah kepada Covid-19 misalnya; demam, batuk, pusing, sakit tenggorokan. Setelah sesi wawancara, dokter segera mengambil peralatan rapid test.
Alat yang digunakan mirip yang biasa digunakan untuk memeriksa kadar gula darah, asam urat, dan kolesterol.
Dokter kemudian mengambil sampel darah Ical beberapa mili. Darah kemudian dituang ke sebuah alat dengan merk Biozek. Darah kemudian diberi pelarut tanpa warna.
Setelah 10 menit, hasil rapid test menunjukan Ical non reaktif dari paparan Covid-19.
Di tengah penjelasan dokter, kerabat Ical menanyakan mahalnya harga rapid test. "Lumayan mahal yah dok untuk rapid test."
"Iya, makanya sekarang berat juga yah untuk dapat surat kesehatan harus ikut rapid dulu dan harus ada budget lebih," kata dokter.
Lain lagi bagi mereka yang hendak bepergian menggunakan pesawat terbang. Bahkan, Bandara Soekarno-Hatta memfasilitasi rapid test dengan biaya yang sudah ditentukan.
Paket Rapid Test di Bandara
Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), saat ini tersedia layanan test cepat (rapid test) Covid-19, bagi seluruh calon penumpang pesawat dan pengguna jasa bandara.
Manager of Branch Communication Bandara Soekarno-Hatta PT Angkasa Pura II Haerul Anwar menjelaskan, layanan rapid test di Bandara Soekarno-Hatta dibuka untuk umum.
"Untuk layanan rapid test di Bandara Soekarno-Hatta dikenakan biaya sebesar Rp225 ribu. Boleh untuk siapa saja, baik calon penumpang maupun pengguna jasa bandara lainnya," terang Haerul di bandara, Senin (22/6).
Menurut dia, tarif sebesar Rp225 ribu untuk rapid test tersebut, belum termasuk surat keterangan bebas Covid-19. Sebagai prasyarat calon penumpang pada penerbangan domestik melakukan perjalanan.
Rapid Test Berbayar Bikin Tambah Susah
Mahalnya biaya rapid test sebagai syarat masuk pesantren ini juga disoroti oleh Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis. Dia menilai, harusnya, rapid test gratis, sehingga tidak memberatkan rakyat.
Dia mengatakan hal ini menjadi persoalan yang amat fundamental dalam penanganan Covid-19. Terlebih, pemerintah menganggarkan penanganan dengan uang rakyat yang sangat besar.
“Dengan anggaran besar yang dikeluarkan hampir Rp1000 triliun sekarang itu, ini menjadi prioritas kalau 270 juta penduduk kita di rapid test dengan harga Rp200 ribu, anggap harga dasar itu ya tidak sampai Rp40 triliun, nggak sampai Rp50 triliun kalau Rp300 ribu nggak sampai Rp50 triliun," kata Kiai Cholil saat dihubungi merdeka.com, Selasa (23/6).
Dengan dana itu, katanya, seharusnya pemerintah bisa mencegah PDP, ODP, maupun Orang Tanpa Gejala (OTG) melalui tes. Oleh karena itu, dia meminta, seharusnya pemerintah menggratiskan tes cepat itu.
"Bagaimana orang yang sudah 3 bulan tidak bekerja, balikin anaknya susah (dari pesantren), bukannya di sini pemerintah harus hadir. Nanti kalau ada satu orang nggak ketahuan karena nggak di tes kumpul di pesantren kan jadi kena semua.
Cholil mengaku memang sulit mencari yang gratis zaman sekarang. Namun, bukan berarti masyarakat yang harus menanggung seluruh beban persyaratan tes Covid-19. Di mana ia meminta, agar pemerintah dapat menggunakan APBN dengan sebaik-baiknya dalam memutus mata rantai virus ini.
"Kalau rumah sakit swasta ya harus bayar, tapi yang bayarin siapa? Bayar sendiri atau pakai APBN, jadi kalau rumah sakit memang harus dibayar untuk keperluan hubungan dengan operasionalnya, tapi persoalannya, kenapa itu dibebankan oleh masyarakat yang sudah ada APBN. Kan tinggal prioritas saja kalau rumah sakit berbisnis it's oke asalkan masih wajar, hanya saja kenapa rakyat bayar sendiri, makan saja ada BLT-nya, yang ini fundamental tidak dibantu," kesal kiai kharismatik di Jawa Timur itu.
Di Sorong Gratis
Berbeda dengan yang dilakukan di Sorong, Papua Barat. Pemerintah Kota Sorong, memberikan kemudahan surat izin bagi pelaku perjalanan masyarakat kurang mampu, mahasiswa, dan pelajaran. Mereka akan dapat mengikuti rapid test secara gratis.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Sorong, Rudy R. Laku mempersilakan masyarakat kurang mampu, pelajar dan mahasiswa yang hendak bepergian dengan kapal laut untuk mendaftar ke pihaknya. Sehingga nantinya akan ada rekomendasi untuk mendapat pelayanan rapid test secara gratis.
Tes cepat gratis kebijakan pemerintah daerah tersebut hanya berlaku bagi masyarakat yang bepergian dengan transportasi kapal laut, tidak berlaku bagi transportasi udara.
Selain masyarakat umum, dia menjelaskan, pelajaran dan mahasiswa yang hendak bepergian ke daerah untuk kepentingan pendidikan juga akan diberi kemudahan rapid test secara gratis.
"Kebijakan tes cepat Covid-19 secara gratis bagi masyarakat pelaku perjalanan oleh pemerintah kota Sorong berlaku mulai 22 Juni 2020," katanya seperti dilansir dari Antara, Selasa (23/6).
Kemenkes Harus Intervensi
Sementara itu, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta mengatakan, seharusnya pemerintah bisa mengatur dan menentukan harga alat rapid test, tidak dibebaskan tarifnya sesuai kebijakan rumah sakit.
Meskipun Marius memahami alat rapid test masih harus diimpor dari luar negeri. Namun, hal tersebut bisa diatur agar harganya tidak terlalu tinggi.
"Ya mungkin karena impor jadi itu memang mahal. Tetapi memang seharusnya negara bisa melalui Kementerian Kesehatan khususnya itu di Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Dirjen Farmalkes) bisa mengatur itu," ujar Marius sata dihubungi merdeka.com, Selasa (23/6).
Menurutnya, penentuan harga rapid test bisa ditentukan dengan menghitung berapa biaya secara keseluruhan, mulai dari harga alat sampai pengiriman.
"Seharusnya bisa dilakukan, ada rumusnya kok itu. Misal harga bahan baku, ongkos kirimnya impor, sewa gudang dan lain-lain. Nah yang nentukan itu negara melalui Dirjen Farmalkes, bukan Gugus Tugas," terangnya.
Terlebih alat rapid test yang sudah dijual secara umum dan termasuk alat kesehatan. Sudah seharusnya harganya diatur oleh pemerintah, seperti halnya obat generik.
"Kecuali untuk harga obat paten itu tidak bisa diatur, karena ada hak paten. Nah, kalau rapid test itu sudah banyak yang produksi walaupun harganya mahal, karena impor kan. Tapi itu harusnya bisa diatur, supaya tidak jadi bisnis semata, seperti obat generik," tuturnya.
Oleh sebab itu, dia mengimbau kepada pemerintah melalui Dirjen Farmalkes untuk mengatur harga alat kesehatan rapid test yang sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat untuk bepergian.
"Ini kan sudah jadi kebutuhan pokok untuk bepergian masyarakat, seharusnya di atur. Kalau belum ada aturannya ya dibuat, bisa pasti, cabe kriting aja bisa tentuin kok," tegasnya.
"Dan satu lagi, jangan sampe ada yang menjual bebas rapid test karena ini masuk kedalam daftar G sebagai obat yang harus ada resep dokter. Supaya tidak jadi bisnis, kalau ada yang jual lewat online-online dan bebas langsung tangkep aja," sambungnya.
Pada kesempatan yang berbeda, Juru Bicara Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KoMPAK), Koesmedi menilai, seharusnya pemerintah bisa memfasilitasi rapid test secara gratis.
"Ya memang rapid test, kalau menurut saya bukan orang yang seharusnya membiayai itu. Tetapi negara lah yang biayai itu, karena itu bagian dari pencegah yang lebih meluas kan," ujar Koesmedi.
Kendati demikian, Dia tidak menampik jika pemerintah tak mampu membiaya rapid test secara gratis. Namun, pemerintah seharusnya bisa mengatur pembiayaan rapid test agar tidak menjadi lahan bisnis.
"Ya itu lah, kami sudah mengingatkan, agar tidak ada unsur bisnis dalam rapid test. Karena hal itu menjadi kebutuhan sebuah negara untuk menjaga masyarakatnya," tuturnya.
Reporter: Yunita Amalia, Bachtiarudin Alam, Ronald Chaniago, Kirom
(mdk/rnd)