Cerita penuh risiko pekerja MRT di bawah perut Jakarta
Iman merupakan salah satu pekerja injeksi yang bekerja mulai pukul 08.00-17.00 WIB.
Kehadiran transportasi massal Mass Rapid Transit (MRT) sangat dinanti oleh warga DKI Jakarta. Diharapkan, proyek MRT ini dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan Ibu kota yang kian memprihatinkan.
Namun, meski masih dalam tahap pengeboran tahap 1 dan jauh dari kata rampung, mega proyek yang menghabiskan dana sekitar USD 1,5 miliar ini, telah memberikan penghidupan dan ladang rezeki bagi sebagian orang, salah satunya Iman (20) asal Garut, Jawa Barat.
Iman merupakan salah satu pekerja injeksi yang bekerja mulai pukul 08.00-17.00 WIB. Tugasnya, adalah menambal beton-beton yang mengalami keretakan (groting). Dia harus memastikan cairan perekat sudah terpasang dalam kabel-kabel penghubung untuk kemudian diinjeksi ke bagian-bagian yang mengalami keretakan.
"Tugas saya di sini jadi pekerja injeksi, masukin air dan cairan ke dalam. Menambal yang retak-retak mas," kata Iman saat ditemui di di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Rabu (6/1).
Ketika merdeka.com berbincang dengan Iman, pemuda ini mengaku sangat senang dan menikmati pekerjaan yang digelutinya itu. Meskipun tempat kerja yang penuh dengan risiko dan selalu bersahabat dengan alat-alat berat, serta debu-debu proyek, dia mengaku mensyukurinya.
"Kalau bosan enggak, cuma kemarin baru masuk tapi yang penting harus senang dulu," tandasnya.
Lebih lanjut, saat ditanya mengenai kesulitan dan risiko kerja yang selama hampir sebulan terakhir ditemui, Iman menyebutkan bagian paling berat dari pekerjaannya adalah ketika harus mondar mandir memastikan bagian yang retak telah mengering dan itu membutuhkan waktu lama.
Ditambah, saat harus mondar mandir, dirinya tak hanya membawa diri, namun ada beberapa alat berat yang selalu harus dibawanya kemana-mana seperti mesin kompresor dan kabel-kabel rol.
"Jam 8 sampai jam 5. Ini nungguin kering dulu, yang lama ini. Semua yang penghubung ini ditungguin sampai kering, harus ditandai dulu ada nomor satu dan lain-lain," tandas Iman.
"Saya cuma mondar mandir bosen nungguin. Kalau satu kelar, baru ke lain lagi ke nomor dua. Kalau belum ada harus cari dulu mondar mandir," lanjutnya.
Ditambahkannya, pria yang sebelumnya bekerja di bagian label dan furniture sebuah hotel di bilangan Pondok Indah ini mengaku bagian kerja paling berisiko yang acap kali ditemuinya adalah saat dirinya harus menahan panas dari butir-butir las yang turun dari pekerja di level teratas Stasiun MRT.
"Kalau kita lagi kerja, kena las panas, capek. Kadang di pundak suka panas banget, tapi emang cari uang susah. Cuma ya hati-hati kalau saya kan baru di sini, kalau di Bunderan HI itu hati-hati las di atas suka ke bawah, suka kena," ungkapnya bercerita.
Seperti diketahui, PT MRT Jakarta sudah mengoperasikan mesin bor bawah tanah atau Tunnel Boring Machine (TBM) Antareja kedua, pada Rabu (11/11) lalu. Setelah Antareja 1 ditepikan, Antareja 2 sudah siap melanjutkan tugas melubangi perut Jakarta dari Stasiun Senayan menuju Stasiun Istora kemudian ke Stasiun Bendungan Hilir dan berakhir di Stasiun Setiabudi.
Secara total, ada empat TBM yang direncanakan akan dioperasikan dalam pekerjaan konstruksi proyek MRT Jakarta Fase I (Lebak Bulus-Bundaran HI). Dua TBM lainnya direncanakan akan dioperasikan dari Bundaran HI-Setiabudi.
Mesin bor 'Antareja' ini akan dioperasikan oleh kontraktor paket pekerjaan CP 104 dan 105 (Senayan-Setiabudi), yaitu SOW Joint Venture yang terdiri dari Shimizu, Obayashi, Wijaya Karya, dan Jaya Konstruksi.
Mesin bor ini menggunakan teknologi Earth Pressure Balance (EPB) pertama di Indonesia yang diproduksi perusahaan Jepang, Japan Tunnel Systems Corporation (JTSC). Sementara itu, mesin bor kedua dan ketiga masih dalam proses perakitan. Kedua mesin ini akan segera beroperasi untuk melanjutkan tahapan pembangunan terowongan MRT.