Datangi KPK, Forum Rektor Indonesia tolak revisi UU KPK
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Profesor dr Asep Saefuddin mengatakan selama tidak ada urgensinya, DPR diharapkan tidak melakukan revisi yang dianggap akan memperlemah kinerja dan posisi KPK dalam pemberantasan korupsi.
Wacana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencuat setelah kasus dugaan korupsi proyek e-KTP bergulir ke meja hijau. Sejumlah elemen masyarakat beramai-ramai menolak wacana tersebut, termasuk Forum Rektor Indonesia.
Hari ini, Forum Rektor Indonesia menyambangi Gedung KPK untuk berdiskusi bersama pimpinan KPK sebagai bentuk dukungan terhadap gejolak revisi Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 itu.
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Profesor dr Asep Saefuddin mengatakan selama tidak ada urgensinya, DPR diharapkan tidak melakukan revisi yang dianggap akan memperlemah kinerja dan posisi KPK dalam pemberantasan korupsi.
"Saat ini revisi Undang-undang KPK tidak terlalu urgent karena KPK sudah kuat bahkan kalau mau mendukung program pemberantasan korupsi harusnya didukung oleh komponen lembaga negara, pemerintah dan DPR," ujar Asep di auditorium KPK, Jakarta, Jumat (17/3).
Asep juga menilai setidaknya munculnya nama nama petinggi di DPR menjadi salah satu alasan revisi Undang-undang KPK kembali menyeruak. Sebab, imbuh Asep, wacana revisi Undang-undang KPK sempat senyap setelah pada bulan Oktober 2015, pemerintah meminta agar revisi Undang-undang KPK perlu disosialisasikan terlebih dahulu, di samping itu pula pemerintah menegaskan ingin fokus terhadap sektor ekonomi.
"Saya tidak tahu alasan apa yang menyebabkan revisi ini muncul tiba-tiba, hanya kami mencoba menghubungkan saja kemungkinan ini karena ada e-KTP yang berkaitan banyak dengan DPR mungkin itu. Kami patut analisis kok enggak ada hujan enggak ada angin kok undang-undang direvisi," terang Asep.
Seperti diketahui, ada perdebatan dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Yakni Pasal 12 huruf a ayat 2 tentang pimpinan KPK meminta izin tertulis dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan. Pasal 37 huruf a tentang pembentukan dewan pengawas untuk KPK, kemudian ada Pasal 40 yang membolehkan KPK menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan).
Pasal 45 ayat 1 penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari kepolisian dan kejaksaan. Pasal 45 ayat 2, pimpinan KPK bisa memberhentikan penyidiknya setelah mendapat usulan dari instansi terkait, kepolisian dan kejaksaan.