Dedi Mulyadi pantang keluar tanah Pasundan
Dedi ogah ikut Pilgub DKI melawan, karena tak sesuai gaya dia.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi tidak akan 'meninggalkan' tanah Pasundan. Dia lebih memilih membangun wilayah Jawa Barat ketimbang harus hijrah mencalonkan kepala daerah Ibu Kota Jakarta. Sebab menurutnya jiwa dan semangat ideologi budaya Sunda lebih cocok dan sudah mendarah daging pada dirinya.
"Kita harus paham dengan kapasitas kita. Saya ini pemimpin yang senang pada aspek pedesaan. Saya senang masyarakat mengelola sawah, mengelola gunung, mengelola laut mengelola pedesaan. Membangun sistem tanah Sunda dan Pajajaran. Jadi tidak berpikir
-
Kapan Pilkada DKI 2017 dilaksanakan? Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 (disingkat Pilgub DKI 2017) dilaksanakan pada dua tahap, yaitu tahap pertama di tanggal 15 Februari 2017 dan tahap kedua tanggal 19 April 2017 dengan tujuan untuk menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022.
-
Siapa saja kandidat yang bertarung di Pilkada DKI 2017? Saat itu, pemilihan diisi oleh calon-calon kuat seperti Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
-
Apa saja isu yang muncul selama Pilkada DKI 2017? Apalagi pemilihan tersebut juga diwarnai dengan isu-isu seperti agama, etnis, dan kebijakan publik.
-
Bagaimana Dedi Mulyadi akan mencari pasangan untuk Pilgub Jabar? "Pak Airlangga berpesan ke saya, jangan terlalu jauh kalau main dari luar rumah, jangan melewati Jawa Barat, harus berada di wilayah Jawa Barat. Kemudian nanti cari pasangan di Golkar yang sesuai dengan kriteria sebagai calon istri (wakil) yang baik," kata dia.
-
Bagaimana Dedi Mulyadi merawat Sapi Bargola? Dirawat dengan Rasa Melalui pengelolaan di Peternakan Lembur Pakuan, Dedi memberikan contoh bagaimana mengelola peternakan yang baik, pertanian organik sampai pada membangun sektor perikanan yang baik di pedesaan.
-
Siapa saja kandidat di Pilkada DKI 2017 putaran kedua? Putaran kedua mempertemukan pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga.
ke situ saya. Karena bukan kapasitas ideologi yang saya miliki," kata Dedi saat ditemui merdeka.com di Rumah Dinasnya, Purwakarta, Kamis (17/3).
Dedi mengungkapkan bahwa tanah Pasundan bisa menjadi maju dan sejahtera bila dibangun dengan cita-cita ideologi yang luhur. Asalkan dikelola dengan sumber daya manusia yang benar.
"Saya punya cita-cita idealisme ideologi Sunda, itu bisa dibangun dalam sebuah bentuk wilayah memadai dan bisa membangun kemakmuran dan kearifan," tegasnya.
Lebih jauh dia memaparkan, dirinya lebih konsen pada pembangunan di pedesaan yang bernuansa kearifan lokal. Sebab itu Ibu Kota Jakarta tidak sesuai dengan konsep yang dia miliki saat ini.
"Saya tertarik mengelola laut, mengelola gunung, mengelola sawah. Jadi membangun DKI bukan kapasitas ideologi yang saya miliki," ucap Dedi.
Nantinya, usai menjadi Bupati Purwakarta. Dedi akan tetap berkiprah dalam dunia politik yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Saat ini dia mengaku belum ada rencana untuk maju lagi mencalonkan menjadi kepala daerah, baginya menjalani hidup mengalir saja sesuai kehendak Tuhan.
"Ya setelah itu pasti ada cerita yang diciptakan oleh Allah SWT, apapun itu kepada saya. Saya ini kan memang awalnya politisi, ya balik jadi politisi lagi. Politisi yang senantiasa peka terhadap perkembangan dinamika politik yang ada di masyarakat," ujar Dedi.
Politikus Golkar ini tidak mau berandai-andai mencalonkan Pilgub Jawa Barat 2018. Dia masih melihat dan mengukur seberapa besar tingkat elektabilitas masyarakat Jawa Barat suka kepada dirinya.
"Ya itu kan nanti, sekarang belum terukur. Sampai hari ini saya belum bisa mengukur diri saya. Kan orang mencalonkan diri itu punya ukuran. Kalau kata bahasa Sunda bilang, kita tidak bisa mengukur diri kita sendiri dan nanti itu masyarakat yang menilai. Nanti saja itu, saya bakatnya kan di situ (politikus)," bebernya.
Dedi mengatakan tidak ada kerabat yang mencalonkan maju Pilkada Bupati selanjutnya. Siapapun yang menjadi Bupati Purwakarta akan didukung, asalkan orang itu mendapat kepercayaan dari masyarakat Purwakarta.
"Oh enggak, kita nanti melihat perkembangan politik di sini. Diserahkan masyarakat Purwakarta. Orang yang memiliki elektabilitas pasti saya dukung dan berikan ruang mereka untuk berkembang, meneruskan cita-cita dan gagasan yang saya saya miliki," tukasnya.
Dia berharap ke depannya Purwakarta tetap memelihara adat istiadat Sunda yang menjadi identitas wilayah tersebut. Peraturan daerah yang sudah dibuat tetap dijalankan sehingga karakter kesundaan menjadi bagian dari masyarakat Purwakarta.
"Harapan saya ke depan untuk daerah Purwakarta yakni ideologi kesundaan tetap berjalan. Saya membuat Perda bersama DPRD tentang karakter yang ada di sini, baik berdasarkan narasi dan nalar spiritual imajiner cerita kesundaan dan akademis. Jadi pemimpin kedepan tinggal meneruskan apa yang sudah digariskan dalam bentuk konstitusi berupa perda," pinta Dedi.
Jadi, masih kata Dedi, konsep tentang kesundaan untuk pemimpin selanjutnya tinggal meneruskan apa yang sudah ada.
Menurutnya, untuk membangun karakter manusia tidak cukup hanya dua periode. Butuh puluhan tahun, sehingga karakter tersebut mengakar pada diri seseorang.
"10 tahun secara fisik cukup, tapi gagasan dan ide karakter kemanusiaan enggak cukup. Idealnya membangun karakter di daerah itu minimal 25 tahun baru bisa dibentuk karakter. Beda misalnya negara demokrasi di Amerika. Mereka kan demokratis sudah ratusan tahun. Kalau memimpin daerah selama 4-8 tahun atau dua periode itu kan sistemnya sudah mapan, masyarakatnya sudah taat konstitusi," papar Dedi.
Beda dengan indonesia, sambung dia, masih tergantung dengan pemimpin. Bukan taat pada sistem, malah taat pada pemimpin, ganti pemimpinnya maka berubah kebijakan, hilang ketaatannya.
"Contohnya, waktu di pimpin si A daerah itu bersih dan tertata, dan pas diganti pemimpin lain, berantakan dan ancur-ancuran. Karena masyarakatnya enggak ada yang takut lagi, enggak ada yang ditakuti, enggak ada yang dihormati," bebernya.
"Inget, Indonesia itu feodal, zaman kerajaan patuh pada rajanya. zaman Belanda patuh pada Belanda, Belanda sangat feodal, karena pemerintahnya tegas pada aturan. Zaman Bung Karno, demokrasi terpimpin sudah mulai ramai, banyak pemberontakan di mana-mana. Zaman Soeharto dengan sistem demokrasi tersentral, politiknya yang semu patuh orang Indonesia. Zaman reformasi bias lagi, nah sekarang ini mulai tertata lagi karena Jokowi tegas, kalau saya lihat begitu," imbuhnya.