Kisah di Balik Bunyi Lesung Padi di Tanah Sunda saat Gerhana Bulan, Ternyata Ini Maknanya
Mengapa orang Sunda memukul lesung saat terjadi gerhana bulan? begini kisahnya
Mengapa orang Sunda memukul lesung saat terjadi gerhana bulan? begini kisahnya
Kisah di Balik Bunyi Lesung Padi di Tanah Sunda saat Gerhana Bulan, Ternyata Ini Maknanya
Gerhana bulan menjadi salah satu fenomena yang unik di sistem tata surya. Saat itu, kondisi bulan perlahan tertutup matahari, sehingga cahayanya menghilang atau menghasilkan visual mirip cincin.
Ketika terjadi peristiwa tersebut, masyarakat Jawa Barat zaman dulu turut meresponsnya dengan tradisi memukul lesung padi.
Nadanya pun saling bersahutan karena dipukul oleh lebih dari satu orang.
-
Apa saja mitos gerhana bulan untuk ibu hamil? Mitos-mitos ini biasanya tidak memiliki dasar ilmiah dan hanya berdasarkan pada takhayul atau tradisi.Berikut ini adalah beberapa contoh mitos gerhana bulan untuk ibu hamil dan penjelasannya: Ibu hamil tidak boleh keluar rumah saat gerhana bulan.
-
Bagaimana gerhana bulan bisa berpengaruh pada ibu hamil? Tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung mitos-mitos ini. Menurut situs NASA, radiasi yang dipancarkan selama gerhana bulan tidak membahayakan ibu hamil dan janin1.
-
Siapa yang percaya ibu hamil harus ngumpet saat gerhana? Mitos ini telah diwariskan secara turun-temurun.
-
Gunungan Ketupat itu apa? Gunungan Ketupat merupakan simbol pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang kepada Allah SWT dan sesama manusia.
-
Kenapa ibu hamil di Jawa diimbau hindari keluar rumah saat gerhana? Ibu hamil saat gerhana bulan dipercaya akan menyerap energi negatif ini, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi calon bayi. Oleh karena itu, ibu hamil di Jawa sering diminta untuk menghindari keluar rumah selama gerhana bulan terjadi, terutama pada trimester pertama kehamilan.
-
Kenapa mitos gerhana bulan untuk ibu hamil banyak dipercaya? Ada beberapa alasan mengapa mitos gerhana bulan masih dipercayai oleh beberapa orang, di antaranya adalah: Kurangnya pengetahuan ilmiah. Banyak orang yang tidak mengetahui atau memahami penyebab dan proses gerhana bulan secara ilmiah. Mereka lebih mudah percaya pada penjelasan yang sederhana dan sesuai dengan keyakinan mereka.
Bagi orang Sunda, memukul lesung padi merupakan kebiasaan buhun alias warisan nenek moyang yang mulai jarang dilakukan.
Usut punya usut tradisi ini merupakan bentuk komunikasi antar warga saat posisi bulan tidak terlihat secara sempurna.
Lantas bagaimana kisah di balik tradisi yang dikenal bernama Tutunggulan ini? Berikut informasi selengkapnya.
Tradisi Tutunggulan
Mengutip Instagram @napakjagatpasundan, seni Tutunggulan merupakan tradisi memukul alat lesung dengan alu.
Alu merupakan alat penumbuk berbahan kayu atau bambu, sedangkan lesung merupakan wadah mirip perahu yang terbuat dari batang kayu utuh untuk wadah padi.
Jika diartikan ke dalam bahasa Sunda, Tutunggulan memiliki arti membunyikan lesung menggunakan alu yang dipukul-pukulkan sesuai iringan nada tertentu.
Tradisi ini dahulu banyak berkembang di wilayah agraris Jawa Barat seperti, Cianjur, Tasikmalaya hingga Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Dimainkan Oleh Kalangan Ibu
Menurut laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Tutunggulan tak boleh sembarangan dimainkan.
Sejak dahulu kala, seni ini wajarnya dilakukan oleh kaum perempuan, terutama kalangan ibu-ibu sebagai tradisi pertanian dan woro-woro untuk warga.
Tak jarang kesenian ini dimainkan sembari mengubah padi menjadi beras, dan dilakukan secara bersama-sama.
Tiga sampai empat perempuan akan memukul lesung dan menumbuk padi menggunakan irama tertentu.
Terdapat lagu-lagu atau sajak yang dipersembahkan untuk menghormati Nyi Pohaci, atau dewi kesuburan alam dari Jawa Barat.
Di samping itu, fungsinya juga untuk tradisi saat terjadi gerhana bulan.
Bentuk Komunikasi Orang Sunda Zaman Dulu
Masyarakat Sunda percaya jika fenomena gerhana bulan akan membawa suatu dampak ke kehidupan.
Tutunggulan kemudian menjadi cara mengabarkan fenomena gerhana bulan ke seluruh warga agar diketahui bersama.
Ketika ini dibunyikan, warga akan berduyun-duyun ke luar rumah dan berkumpul di rumah warga atau di suatu tempat yang membunyikan alu ke lesung tersebut.
Mengutip jurnal karya Wulandari, Cahyana dan Asep dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung berjudul “Perkembangan Seni Tutunggulan di Kampung Sambawa Kabupaten Tasikmalaya”, tradisi ini bernama “Mapag Bulan” atau menjemput bulan.
Setelah membunyikan Tutunggulan, warga meyakini jika gerhana bulan akan berakhir, dan warga tidak kembali resah.
Fenomena gerhana bulan sendiri dikenal dengan istilah Samaghana oleh masyarakat Sunda. Fenomena ini kental pengaruhnya kepada ibu hamil, sehingga harus dilindungi dan disembunyikan di kolong tempat tidur atau di ruangan yang dianggap aman.
Melindungi Ibu Hamil
Ada banyak kepercayaan jika ibu hamil terpapar gerhana. Pertama, bayi yang lahir nantinya akan berkulit putih pucat (albino).
Lalu fenomena ini juga akan mempengaruhi psikologis sang ibu, karena gerhana ini menciptakan kondisi gelap yang mengagetkan.
Tutunggulan lantas menjadi alat komunikasi, untuk mengabarkan fenomena tersebut kepada masyarakat, sebelum adanya teknologi pengeras suara.
Dengan dibunyikannya ini, konon bisa melindungi ibu hamil dari dampak kemunculan gerhana bulan.