Dukung pemberantasan pungli, HNSI minta penertiban hingga daerah
Dukung pemberantasan pungli, HNSI minta penertiban hingga daerah. Sarjono mengemukakan persoalan pengurusan dokumen sangat merepotkan nelayan dan pemilik kapal. Rumitnya pengurusan surat izin kapal menjadi celah maraknya praktik korupsi saat dilakukan pengurusan izin surat-surat.
Angin segar pemberantasan pungutan liar dalam proses perizinan surat kapal diapresiasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap. Meski begitu, HNSI Kabupaten Cilacap berharap proses tersebut juga bisa dilaksanakan hingga di daerah.
"Praktik semacam itu, tak hanya terjadi saat kami mengurus surat perizinan di tingkat pusat, tetapi juga terjadi di instansi-instansi daerah yang mengurus perizinan kapal," kata Ketua HNSI Cilacap, Sarjono, Kamis (13/10).
Sarjono mengemukakan persoalan pengurusan dokumen sangat merepotkan nelayan dan pemilik kapal. Rumitnya pengurusan surat izin kapal menjadi celah maraknya praktik korupsi saat dilakukan pengurusan izin surat-surat.
"Pengurusan izin seharusnya tidak perlu harus dari tingkat kabupaten, provinsi hingga ke tingkat kementerian. Apabila memang harus diurus hingga tingkat provinsi atau pusat, sebaiknya bisa diurus dalam satu tempat saja. Sehingga dalam mengurus dokumen tidak berlangsung lama dan mengeluarkan biaya besar," keluhnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan agar kapal penangkap ikan di atas bobot tujuh gross ton supaya bisa melaut dibutuhkan sedikitnya lima dokumen surat yang harus dipenuhi.
Menurut Sarjono, masalah maraknya praktik pungli dan rumitnya birokrasi yang harus dihadapi nelayan saat mengurus surat kapal, sebenarnya sudah berulang-kali disampaikan pengurus HNSI Cilacap.
"Namun selama ini, tanggapan terhadap keluhan tersebut hanya berupa janji-janji yang tidak pernah terealisasi," jelasnya.
Sebelumnya, permasalahan praktik pungutan liar pernah diungkap seorang nelayan asal Kampung Laut Cilacap, Kustoro melalui media sosial. Saat itu, Kustoro mengemukakan diminta untuk membayar sejumlah uang kepada oknum di instansi yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin.
"Setelah mengurus dokumen pas kapal di kantor tersebut, saya disodori tulisan yang bertulis besaran biaya yang harus dibayar," ucapnya.
Rincian biaya tersebut, jelasnya, mencapai angka Rp 13 juta lebih. Saat itu, Kustoro mengaku terkejut lantaran hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
"Seharusnya, hanya dikenakan biaya resmi Rp 100 ribu. Apalagi, kapal penangkap ikan milik saya hanya memiliki ukuran panjang 18 meter dengan lebar 3,60 meter dan tinggi dari dasar kapal ke atas 1,26 meter. Dan itu sudah tertuang dalam PP Nomor 15 tahun 2016 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak," ucapnya.