Hasto ungkap prinsip wajib dimiliki kader dan calon kepala daerah PDIP
Bagi PDI Perjuangan, kepentingan politik tak bisa sebebas-bebasnya seperti paham liberal. Namun harus dibatasi oleh komitmen dan kesepakatan besar politik. Apa itu? Itulah Pancasila sebagai Dasar Negara, dan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 sendiri sebagai Konstitusi.
PDI Perjuangan meletakkan kepentingan politik dalam kebijakan publik yang harus tetap sejalan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa. Maka itu dalam setiap proses kaderisasi pemimpin bangsa yang dilakukannya, PDI Perjuangan selalu menggunakan prinsip itu demi memastikan Indonesia yang semakin berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
Hal itu diungkapkan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat menyampaikan kuliah umum Semester Gasal Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sabtu (19/8).
Hasto mengatakan, kepentingan politik bisa membelokkan pelaksanaan kebijakan publik yang diambil. Sebagai contoh, di era Orde Baru, Pemerintah berani menyatakan bahwa dokumen risalah BPUPK hilang. Hal itu demi menutupi sejarah lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dimana Proklamator RI Bung Karno pertama kali menyampaikan dasar Indonesia merdeka.
Untungnya, oleh seorang Peneliti pada tahun 1999, risalah itu ditemukan tersimpan dalam bentuk steno di Perpustakaan Mangkunegaran, kata Hasto. "Nah, karena kepentingan politik, kebenaran sejarah bisa diselewengkan seperti yang dilakukan Orba dengan menyebut dokumen aslinya hilang," katanya.
Bagi PDI Perjuangan, kepentingan politik tak bisa sebebas-bebasnya seperti paham liberal. Namun harus dibatasi oleh komitmen dan kesepakatan besar politik. Apa itu? Itulah Pancasila sebagai Dasar Negara, dan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 sendiri sebagai Konstitusi.
"Partai politik memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengikatkan seluruh kepentingan politiknya, yang tidak boleh bertentangan dengan setiap nilai yang terkandung dalam Pancasila yang otentik dan UUD 1945," ungkap Hasto.
Dia bercerita, sejumlah menteri yang merancang Perppu Ormas didorong oleh pihaknya tak ragu menghadapi upaya kampanye anti-demokrasi. Sebab setiap aparat pemerintahan Jokowi seharusnya tak boleh ragu bahwa kepentingan politik apapun boleh hadir, asal dibatasi oleh Pancasila, Konstitusi, dan Kedaulatan Bangsa itu sendiri.
"Maka ketika ada kelompok atau ormas yang menyatakan berbeda dari negara, wajar negara bertindak," kata Hasto.
Dari situ, kata Hasto, kekuasaan politik harus bisa menghasilkan kebijakan politik yang senafas dengan harapan dan aspirasi publik. Hal itu guna memenuhi aspek fundamental, mencakup kebutuhan dasar warga negara yang bisa dilihat dalam perspektif politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan.
Dalam perspektif politik, harus berorientasi pada kebijakan yang antara lain memenuhi hak berserikat berkumpul, hak menyatakan pendapat, kebebasan menjalankan agama dan kepercayaannya. Hal itu mensyaratkan birokrasi yang bekerja tanpa diskriminasi, pengarusutamaan HAM, dan sistem pengelolaan pemerintahan yang transparan, efektif, dan akuntabel.
Sebagai contoh, Hasto menjelaskan apa yang dilakukan Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, yang mensyaratkan setiap calon PNS harus memiliki IPK 3,8 dari maksimal 4,0. Tujuannya adalah memastikan birokrasi memang orang-orang terpilih, sekaligus menghindarkan dari 'orang titipan'.
"Birokrasi pun menjadi lebih efektif. Tak heran kini Banyuwangi lebih maju," kata Hasto.
Perspektif ekonomi harus berorientasi misalnya pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara, kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan harga makanan pokok yang terjangkau.
Perspektif sosial dan kebudayaan mencakup kebijakan yang didesain rasa aman dan ketentraman masyarakat, memajukan kesejahteraan umum yang diukur dari peningkatan pencapaian taraf kebudayaan masyarakat.
"Dalam perspektif ini, agama dilihat sebagai basis modal sosial untuk memperkuat derajat kebudayaan masyarakat, yang dilihat dari bekerjanya nilai-nilai etika, moral, kejujuran, fairness, dan self of responsibility," bebernya.
Untuk mengukur bekerjanya semua hal itu, kata Hasto, maka yang dihitung adalah sejauh mana kebijakan publik memiliki daya dorong agar sistem pemerintahan yang dibangun mampu memenangkan persaingan.
Maka itulah, PDI Perjuangan menyadari sepenuhnya bahwa kebijakan publik itu memerlukan topangan leadership dari si pemegang kebijakan, memerlukan sense of direction, dan sense of discovery yang membuka ruang kreatif dan daya cipta.
"Kombinasi ketiga hal itu yang akan menentukan jalan perubahan," kata Hasto.
Dilanjutkan dia, PDI Perjuangan pun menghidupi hal itu dalam proses kaderisasinya, termasuk dalam mencari sosok calon kepala daerah maupun pemimpin nasional yang diusung. Hal itu menjadi aktual kembali karena dalam waktu dekat akan dilaksanakan Pilkada Serentak 2018, dan PDI Perjuangan sudah membuka pendaftaran calon kepala daerah.
PDI Perjuangan memastikan, bahwa dalam proses kaderisasinya, menempatkan kepentingan politiknya sebagai daya ubah sistemik atas sistem manajemen pemerintahan, sistem perekonomian, sistem sosial budaya.
"Dan mensyaratkan kepemimpinan yang memberi arah masa depan bagi bangsa sehingga semakin berdaulat, berdikari, serta berkepribadian," tegasnya.