ICW beberkan 6 poin masalah pembentukan Densus Tipikor
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan 6 poin krusial dari pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri. Koordinator Divisi Monitoring Peradilan dan Hukum ICW Emerson Yuntho mengatakan pertama pembentukan Densus Tipikor belum melalui kajian yang komprehensif.
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan 6 poin krusial dari pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri. Koordinator Divisi Monitoring Peradilan dan Hukum ICW Emerson Yuntho mengatakan pertama pembentukan Densus Tipikor belum melalui kajian yang komperhensif.
"Belum ada kajian akademik yang komprehensif yang itu bisa disampaikan atau bisa dikritisi oleh publik," kata Emerson dalam diskusi perspektif Indonesia bertajuk 'Perlukah Densus Tipikor' di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta, Sabtu (21/10).
Persoalan kedua soal landasan hukum pembentukan Densus Tipikor belum kuat. Kemudian, ruang lingkup kerja Densus Tipikor masih abu-abu. Emerson menyebut gagasan awal tugas Densus ini mirip dengan KPK yakni bisa melakukan pencegahan, penindakan hingga penuntutan.
"Pembacaan publik bahwa ini mirip-mirip sama KPK nih, jangan-jangan ide pembentukan Densus Tipikor ini untuk misalnya menyaingi KPK," tegasnya.
Kemudian, masalah ketiga adalah kultur independensi penegak hukum. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan akan sulit mengukur independensinya. Hal ini karena kinerja dan program Polri diawasi dan harus mendapat persetujuan DPR, yang disebut lembaga politis.
"Kejaksaan kepolisian, kejaksaan tadi itu pak Jaksa Agungnya mantan politisi agak sulit bicara independensi. Pak Kapolri proses mekanismenya akan lewat DPR, persetujuan," ujarnya.
Sementara, kebanyakan kasus korupsi terjadi di eksekutif yang diisi oleh delegasi partai-partai politik. Dia khawatir ada intervensi yang dilakukan terhadap Tipikor jika kasus yang ditangani menjerat politisi atau pendukung dari partai tertentu.
"Ketika penanganan korupsi kemudian menyentuh misalnya tanda kutip pihak-pihak yang dianggap jadi supporter, atau mendukung atau misalnya pimpinan parpol pertanyaannya apakah bisa se-independen itu?," tutur Emerson.
Emerson melanjutkan, masalah selanjutnya wacana pembentukan Densus Tipikor tidak tepat. Dia melihat, muncul wacana dibentuknya densus ini berujung pada pembubaran KPK. Hal itu terjadi jika Kejaksaan dan Kepolisian dianggap telah bekerja baik memberantas korupsi.
"Jadi sudah mulai ada wacana kalau densus ini bagus KPK enggak perlu ada. Jadi idenya itu kayak idenya dukung densus untuk menghentikan KPK," tandasnya.
Terakhir, lanjut Emerson, Densus Tipikor bakal terhambat oleh UU. Densus tipikor dianggap tidak akan bergerak bebas memberantas korupsi karena segala proses harus mendapat izin tidak seperti KPK.
"Begini KPK itu agak proses jalannya agak mulus itu karena dia enggak ada hambatan soal izin pemeriksaan. Mau periksa hakim, periksa menteri, pejabat itu enggak perlu izin atasan termasuk anggota legislatif," ucapnya.
"Nah beda dengan penegak hukum lain kepolisian, kejaksaan, mereka punya hambatan. Soal penyadapan mereka bilang enggak bisa," sambung Emerson.
Senada dengan Emerson, pengajar PTIK Umar Husin menambahkan, Densus Tipikor harus memiliki ciri khas dalam penanganan perkara korupsi yang membedakan dengan penegak hukum lainnya.
"Kalau dibuat badan baru harus mempunyai kekhasan dari lembaga yang ada dalam hal ini KPK. Tapi kekhasannya apa? Masa pencegahan buat badan baru," imbuhnya.
Selain kekhasan, Densus Tipikor juga harus memiliki sasaran taktis dan strategis agar bisa dipercaya publik sebagai satuan pemberantas korupsi.
"Artinya tadi secara tersirat, tersurat lurah yang nerima dana dari Kementerian. Justru bagaimana lurah terima uang dididik dibimbing supaya tidak korupsi," tukasnya.