Indonesia & Amerika tingkatkan kerja sama penanggulangan terorisme
Indonesia dan Amerika Serikat terus bersinergi dalam pemberantasan terorisme. Kedua negara bertukar informasi serta pengalaman menanggulangi aksi-aksi teror yang terus terjadi.
Indonesia dan Amerika Serikat terus bersinergi dalam pemberantasan terorisme. Kedua negara bertukar informasi serta pengalaman menanggulangi aksi-aksi teror yang terus terjadi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Suhardi Alius melakukan pertemuan bilateral dengan Asisten Khusus Presiden AS untuk Keamanan Nasional dan Penanggulangan Terorisme, Thomas P. Bossert di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikta, pada Selasa (11/7) waktu setempat.
Suhardi menjelaskan, pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya antara Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Lestari Priansari Marsudi dengan Thomas P. Bossert pada Juni lalu.
"Mr. Bossert ingin tahu mengenai pengalaman Indonesia selama ini dalam menanggulangi terorisme, termasuk di antaranya mengenai tantangan dari Foreign Terrorist Fighter (FTF) returnees baik terhadap Indonesia maupun kawasan lain," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (12/7).
Kepada Bossert, mantan Kabareskrim Polri ini menyampaikan bahwa pentingnya untuk menyeimbangkan antara penggunaan pola hard approach (pendekatan keras) dan soft approach (pendekatan lunak) dalam penanggulangan terrorisme tersebut.
"Terlebih dalam soft approach Indonesia relatif berhasil dalam program deradikalisasi, di mana teroris yang telah menjalani masa hukuman dari sebanyak 560 orang hanya 3 orang yang kembali melakukan tindakan terorisme," jelas alumni Akpol 1985 ini.
Dikatakan mantan Kapolda Jawa Barat itu, program kontra-radikalisasi yang dilakukan BNPT yakni dengan menggandeng unsur masyarakat termasuk pemuda, 'netizen' dan juga mantan aktivis teroris untuk melakukan counter narative telah menjadi program unggulan nasional. "Dan ini juga berjalan efektif," katanya.
Selanjutnya, Suhardi juga menyampaikan bahwa BNPT yang terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden No.46 tahun 2010, memiliki peran strategis dalam mengkoordinasikan penyusunan kebijakan, strategi dan program penanggulangan terorisme.
"Dan ini diperkuat dengan Instruksi Presiden untuk berkolaborasi dan bersinergitas dengan melibatkan sebanyak 32 Kementerian/Lembaga dalam program penanggulangan terorisme. Selain itu, BNPT juga memiliki tugas operasional melalui pemberdayaan Satgas (Satuan Tugas)," ujar mantan Wakapolda Metro Jaya ini.
Bossert sendiri, menurutnya, menyatakan ketertarikannya dalam program deradikalisasi yang sudah dijalankan oleh Indonesia. Keinginan administrasi Donald Trump untuk membuat Strategi Penanggulangan Terorisme AS yang baru akan memperhatikan 4 elemen utama dalam program deradikalisasi di Indonesia yakni melalui identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi, dan re-integrasi.
Khusus untuk peningkatan kerja sama antar-kedua negara dalam penanggulangan terorisme, Suhardi juga menyampaikan bahwa perlu adanya payung hukum antara kedua negara dalam menanggulangi terorisme.
"Tentunya perlu adanya pendekatan whole-government approach antar-kedua negara untuk saling memberikan penilaian serta arahan kebijakan kedua negara dalam kerja sama penanggulangan terorisme. Hal ini dapat didukung oleh Thomas P. Bossert," jelasnya.
Tidak lupa, Suhardi juga menyampaikan undangan kepada Thomas P. Bossert untuk dapat melakukan kunjungan balasan ke Indonesia.
Di hari yang sama pada kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat tersebut, Suhardi juga melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Keamanan Nasional AS, John F. Kelly. Pertemuan tersebut dilakukan di Departemen Keamanan Nasional, Amerika Serikat.
"Pada intinya Menteri Kelly menyampaikan bahwa masalah terorisme ditambah dengan adanya FTF menjadi suatu paradigma baru bagi negara-negara di dunia dalam penanggulangan radikalisme dan violent extremism," tuturnya.
Dalam pertemuan dengan Kelly tersebut, mantan Sekrtetaris Utama (Sestama) Lemhanas ini mengatakan bahwa banyak negara seperti Uni Eropa yang saat ini mengalami panic mode akibat radikalisme dan violent extremisme. Dan yang menjadi salah satu perhatian utama Departemen Keamanan Nasional AS adalah pertukaran informasi mengenai data penumpang udara (passengers information).
"Hal ini berdasarkan informasi intelijen bahwa ISIS berkeinginan untuk melakukan serangan utamanya melalui maskapai penerbangan serta sebagai mode transportasi dari FTF," ungkapnya.
Lebih lanjut dalam pertemuan tersebut Suhardi juga menyampaikan bahwa penanganan terhadap tindak pidana terorisme juga perlu mengedepankan pola soft approach. "Salah satunya melalui program deradikalisasi yang dinilai cukup berhasil untuk menurunkan angka tindakan kekerasan oleh mantan teroris," katanya.
Namun demikian kepada John F. Kelly, Suhardi menyampaikan bahwa pola soft approach ini bisa berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. "Ini dikarenakan bahwa root causes (akar permasalahan) masalah terorisme antar satu negara dengan negara lain itu berbeda," imbuhnya.
Disampaikan juga agar penanggulangan terorisme bisa lebih efektif, di Indonesia sendiri saat ini sedang berupaya untuk mengubah Undang Undang (UU) Anti-Terorisme. Hal tersebut karena pentingnya beberapa upaya kriminalisasi agar memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas dam fungsinya, seperti perbuatan persiapan.
"Selain itu penting adanya revisi dalam RUU mengenai tindak pidana melakukan kejahatan terorisme sebagai FTF. Tidak hanya itu, forum seperti APEC juga dapat dimanfaatkan oleh kedua negara terkait dengan passenger list melalui Working Group on Travel, selain forum Counter-Terrorism Working Group dari APEC," tandasnya.