Ini aksi Soeharto yang bikin militan Filipina utang budi pada RI
MNLF mengaku siap membebaskan WNI. Mereka mengaku utang budi pada Indonesia.
Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) mengaku siap ikut membantu membebaskan sandera warga negara Indonesia yang disandera Abu Sayyaf. Salah satu alasannya karena para pejuang Muslim Moro ini mengaku pernah utang budi pada Indonesia.
Apa sebenarnya yang dulu dilakukan Indonesia hingga para pejuang ini merasa punya utang budi?
MNLF dulu adalah induk dari perjuangan para gerilyawan Muslim yang menentang pemerintah Filipina. MLNF berperang demi mencapai kemerdekaan dari Filipina dan mendirikan negara Islam.
Gerakan ini kemudian pecah menjadi beberapa faksi. Salah satunya adalah Abu Sayyaf yang berafiliasi dengan ISIS.
Awal periode 1980-an, Presiden Filipina Ferdinand Marcos berusaha mencari dukungan dari negara-negara Islam untuk menyelesaikan konflik dengan Bangsa Moro di Mindanau.
Selain dari negara-negara Timur Tengah, Marcos juga meminta dukungan dari Indonesia. Saat berkunjung ke Jakarta, Marcos berdialog dengan Presiden Soeharto untuk menyelesaikan masalah ini. Marcos meminta semua penyelesaian soal Moro, tetap dalam kerangka integrasi dengan Filipina. Artinya tak ada opsi untuk kemerdekaan Mindanau.
Presiden Soeharto menerima permintaan Marcos. Indonesia setuju untuk mendamaikan konflik dengan syarat Bangsa Moro tetap menjadi bagian dari Filipina.
Langkah perdamaian ini diteruskan oleh pengganti Marcos, Presiden Corazon Aquino. Tahun 1989, disepakati otonomi daerah istimewa untuk kawasan Muslim Mindanau. Namun hal itu tak lantas membuat konflik selesai.
23 September 1993, Presiden Fidel Ramos mengunjungi Presiden Soeharto di Jakarta. Kembali meminta bantuan untuk menyelesaikan konflik di Mindanau.
Indonesia kemudian membawa masalah Mindanau ke Forum Menteri Luar Negeri Negara Muslim. Dibentuk Komite Enam, dengan Indonesia sebagai ketuanya.
"Indonesia dipilih karena menjadi negara Muslim terbesar, punya kepemimpinan yang kuat di kawasan ASEAN dan punya pengalaman menengahi konflik di Kamboja." Demikian ditulis Anak Agung Banyu Perwita dalam buku Indonesia And The Muslim World.
Tak mudah menyelesaikan konflik pemerintah Filipina dengan Bangsa Moro. Indonesia selalu terlibat sebagai fasilitaror. Akhirnya perjanjian damai bisa diteken antara kedua pihak tahun 1996.