Ini kata MA dituding langgar konstitusi karena pembatasan PK
"UU MA adalah petunjuk MA, lembaga lain dan institusi lain tidak terkena dampaknya," katanya.
Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK). SEMA ini menjadi pegangan bagi seluruh hakim untuk membatasi agar PK hanya dapat dilakukan sekali.
Ketua MA Hatta Ali mengatakan pembentukan SEMA ini tidak bertujuan untuk membangkang terhadap konstitusi lantaran mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut dia, putusan MK hanya membatalkan ketentuan pengajuan PK yang termuat dalam Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bukan pada UU MA maupun pada UU Kekuasaan Kehakiman.
"Yang kami katakan bahwa putusan MK itu Pasal 268 tentang PK di KUHAP. Tetapi dalam UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 5 Tahun 2004 jelas mengatakan PK itu hanya satu kali baik itu pada UU Kekuasaan Kehakiman dan juga UU MA," ujar Hatta di kantornya, Jakarta, Rabu (7/1).
Hatta mengatakan, tidak dihapuskannya ketentuan PK dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA menjadi dasar MA untuk menerbitkan SEMA tersebut. Menurut dia, ketentuan PK hanya sekali masih memiliki kekuatan hukum.
"Karena itu masih berlaku, hakim masih harus menerapkan itu," ungkap Hatta.
Selanjutnya, terang Hatta, penanganan PK merupakan wewenang dari MA yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Sehingga MA sendiri yang merasakan bagaimana sulitnya menangani PK jika harus diajukan berkali-kali.
"UU MA adalah petunjuk MA, lembaga lain dan institusi lain tidak terkena dampaknya," katanya.
Hatta pun membantah jika penerbitan SEMA itu dikatakan sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Dia menyatakan MA tidak menerbitkan SEMA secara sembarangan.
"Kalau disebut membangkang, kita tidak seenaknya menerbitkan. Kami melakukan penelitian dan membahasnya dan ada tim pokjanya. Dalam putusan MK Nomor 34 itu tidak disinggung UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA," ungkap dia.
Di samping itu, Hatta menegaskan MA memiliki wewenang untuk menentukan mekanisme sendiri yang akan digunakan untuk lingkungan internal dan tidak terikat dengan lembaga lain. Sehingga penerbitan SEMA ini merupakan bagian dari sikap independensi MA.
"Kita tidak di bawahi oleh lembaga manapun. MA benar-benar independen dan tidak terikat pada lembaga lain," terangnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, MK telah menghapus Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga membolehkan PK diajukan berkali-kali. Putusan tersebut sudah final dan wajib diikuti oleh semua lembaga negara, termasuk juga MA dan apabila tidak ditaati maka hal itu termasuk pembangkangan terhadap konstitusi.
"Secara lebih tegas bisa dikatakan ketidakpatuhan terhadap putusan MK merupakan disobedience atau pembangkangan terhadap putusan MK. Kalau itu terjadi maka itu adalah pelanggaran konstitusi," ujar Arief di kantornya, Jakarta, Senin (5/1).
Arief mengatakan, MK merupakan lembaga penafsir konstitusi tertinggi yang setiap putusannya bersifat final. Sehingga, menurut dia, setiap putusan MK tidak boleh ditafsirkan sendiri oleh lembaga lain sesuai kewenangannya.