Ini penjelasan lengkap BPJS Kesehatan soal fatwa haram MUI
BPJS menegaskan sebagai eksekutor hanya melaksanakan perintah UU.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tidak sesuai syariah Islam atau haram. MUI menilai BPJS Kesehatan belum mencerminkan jaminan sosial dalam Islam.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam kasus ini yakni masalah denda administrasi sebesar 2 persen per bulan dari jumlah iuran tertunggak baik bagi penerima upah maupun bukan dalam aturan main BPJS. Denda ini dibayarkan secara bersamaan.
MUI menilai penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah. Sebab, pelaksanaannya mengandung unsur gharar, maisir dan riba.
Menanggapi fatwa tersebut, pihak BPJS tak mau berkomentar soal menolak atau menerima haram atau tidaknya program jaminan kesehatan ini. Namun yang jelas, BPJS menegaskan sebagai eksekutor hanya melaksanakan perintah UU yang dibuat pemerintah dan DPR.
Berikut wawancara lengkap Kepala Humas BPJS Irfan Humaidi saat dihubungi merdeka.com, Rabu (29/7):
T: MUI bilang BPJS Kesehatan haram, pandangan bapak bagaimana?
J: Saya balik tanya ada dokumen nya enggak merdeka.com yang menyatakan bahwa fatwa itu adalah fatwa MUI benar langsung menyatakan BPJS Kesehatan haram?
T: Menurut MUI, salah satu yang haram yakni sistem bunga?
J: Kita enggak ada bunga, BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang diamanahkan oleh UU untuk menyelengarakan program jaminan kesehatan. Kita bukan institusi keuangan yang melakukan pembiayaan kepada pihak ketiga yang mungkin ada unsur tadi. Kita murni menyelengarakan, mengumpulkan pungutan duit yang dikumpulkan dengan gotong royong dan itu dipergunakan bagi yang sakit. Jadi gotong royong yang tidak sakit bantu yang sakit.
T: Lalu bunganya gimana?
J: Tidak, BPJS tidak membungakan uang, yang kita terima numpang lewat enggak lama langsung kita bayarkan. BPJS itu amanat UU, kita itu bukan regulator, tapi eksekutor. Jadi kita menyelenggarakan apa yang ditetapkan UU, peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Salah satu aturannya dalam UU penempatan dana maupun pengenaan denda kalau terlambat bayar iuran, tapi bukan wewenang BPJS untuk mengubahnya, BPJS bukan kewenangan kita menanggapi menolak atau menerima dari fatwa MUI itu.
Kita terbuka untuk masukan dari berbagai pihak, termasuk MUI, itu masukan. Nanti dilihat pemerintah silakan mengambil keputusan, BPJS menyelenggarakan saja. Saya tidak ke arah sana (setuju atau menolak) tapi yang saya tahu, bisa dilihat di rekomendasi MUI itu adalah mendorong pemerintah untuk menerapkan BPJS ini mengadopsi prinsip syariah.
Secara esensi bahwa penyelengaraan BPJS Kesehatan ini banyak muatan syariah. Pertama SJSN prinsip gotong royong, kalau bahasa arabnya, ta'awun, saling bantu, di situ ada prinsip syariah. Kalau ada pengenaan denda itu menjadi masukan pemerintah untuk regulasi, kita siap melaksanakan
T: Denda 2 persen itu berbunga pak?
J: Kalau denda keterlambatan tidak berbunga dan tidak berhubungan dengan itu. Kita sama seperti bank syariah, kalau nasabah nunggak, telat bayar, ada biaya administrasi, keterlambatan, bukan menerapkan bunga majemuk. Kalau enggak bayar terus dikalikan bunga besar dari pokok itu enggak ada itu kewajiban peserta kalau nunggak dibayar denda memang, itu hanya dua persen dan hanya tiga bulan, berikutnya tanpa tambahan dua persen, dan kita prinsipnya nirlaba tidak ada kepentingan untuk meraup keuntungan karena dana terkumpul kembali ke manafaatkan peserta.
Sekali lagi, kami terbuka untuk masukan dari BPJS itu jadi perhatian.