IPW minta Mabes Polri bentuk lembaga pengawas untuk Densus 88
Masyarakat ingin Densus 88 kembali menangkap para teroris yang merupakan masyarakat sesuai koridor hukum.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane menganggap kritik terhadap Densus 88 yang muncul belakangan ini merupakan bentuk kecintaan masyarakat terhadap institusi pemberantas terorisme tersebut. Masyarakat ingin Densus 88 kembali menangkap para teroris yang merupakan musuh masyarakat sesuai koridor hukum.
"Kita lihat desakan itu muncul karena rasa kecintaan," kata Neta di Kompolnas, Jakarta, Rabu (30/3).
-
Apa yang ditemukan Densus 88 saat menangkap ketujuh pelaku ancaman terhadap Paus Fransiskus? "Kita temukan barang barang yang terkait propaganda saja seperti penggunaan logo logo, foto-foto, kemudian kata-kata. Logo ISIS misalnya, logo-logo yang merujuk pada tanda tertentu yang biasa digunakan kelompok teror, salah satu misalnya bendera bendera itu ya," kata dia di GBK, Jumat (6/9).
-
Mengapa Densus 88 menangkap ketujuh pelaku ancaman terhadap Paus Fransiskus? Dijelaskan, Densus 88 Antiteror diberikan mandat untuk melakukan pencegahan sedini mungkin setiap ancaman, setiap serangan teror yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok.
-
Bagaimana Densus 88 menemukan ancaman terhadap Paus Fransiskus? Hasil pemantauan, ditemukan postingan-postingan bermuatan ancaman dan provokasi yang ditujukan kepada Paus Fransiskus saat melakukan kunjungan ke Indonesia.
-
Dimana Densus 88 menemukan bukti ancaman terhadap Paus Fransiskus? Kita temukan barang barang yang terkait propaganda saja seperti penggunaan logo logo, foto-foto, kemudian kata-kata.
-
Siapa yang ditangkap Densus 88 karena mengancam Paus Fransiskus? Ada ketujuh orang terduga pelaku teror itulah yang mengunggah di akun media sosial pribadi.
-
Kapan Komjen Rycko Amelza dimutasi ke Densus 88? Komjen Rycko Amelza Dahniel baru saja dimutasi ke Densus 88. Sebelumnya dia menjabat Kalemdiklat Polri.
Harus diakui, kata Neta, salah satu faktor yang membuat kepercayaan masyarakat mulai berkurang terhadap Densus 88 karena sejumlah oknum anggota yang arogan dan bersikap sebagai eksekutor. Padahal, seharusnya anggota memiliki kewajiban melindungi tersangka pelaku teror sampai ke ruang pengadilan.
"Iya ini muncul desakan karena anggota Densus 88 mulai bersikap eksekutor di lapangan. Seharusnya kan melindungi pelaku sampai diadili di persidangan," ujarnya.
Neta juga tidak sepakat jika Densus 88 harus dibubarkan. Hal ini mengingat, Densus 88 sangat berjasa memerangi terorisme di tanah air.
Kendati demikian, untuk meminimalisir sikap arogansi anggota Densus 88 di lapangan, Neta mengimbau agar Polri membuat lembaga pengawasan, sehingga nantinya, lembaga tersebut bisa mengawasi kinerja para anggota Densus 88.
"Munculnya desakan itu karena tidak ada pengawasan intensif terhadap mereka. Mabes Polri harusnya membentuk lembaga pengawas terhadap kinerja Densus 88," pungkas Neta.
Sebelumnya, sejumlah kritikan datang dari sejumlah pihak terhadap Densus 88. Polri diminta mengevaluasi kinerja Densus 88 setelah panglima sekaligus komandan rekrutmen kelompok teroris Neo Jemaah Islamiyah (JI), Siyono tewas usai berduel dengan anggota Densus 88.
Atas kematian Siyono, Densus 88 pun dituding telah melanggar HAM. Menanggapi hal tersebut, Polri tak tinggal diam. Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Anton Charliyan mempertanyakan dasar dari tudingan itu.
Anton sedikit kecewa lantaran masyarakat kerap menyudutkan Polri atas kematian Siyono. Padahal, jelas terbukti jika Siyono adalah salah satu petinggi di kelompok radikal tersebut.
"Silakan saja seandainya itu memang mau dikatakan melanggar HAM atau lainnya, silakan saja," kata Anton di Mabes Polri, Jakarta, Senin (28/3).
"Tapi kenapa ketika banyak TNI dan Polri jadi korban tidak ada satu orang juga mengatakan melanggar HAM. Justru ketika orang yang jelas-jelas bisa kita buktikan berdasarkan saksi, berdasarkan bukti bahwa dia adalah seorang petinggi teroris dikatakan melanggar HAM dari situ saja Polri sudah disudutkan," timpal Anton.
(mdk/hhw)