Jokowi Diminta Jadikan Baduy Sebagai Cagar Budaya Bukan Tempat Wisata
Dosen Sejarah dan Kebudayaan Jawa FIB UI, Prapto Yuwono meminta, pemerintah agar bisa menghargai keputusan para tokoh adat Suku Baduy. Menurutnya, pemerintah tidak perlu mengeksploitasi Suku Baduy menjadi sumber pendapatan negara di sektor wisata.
Masyarakat adat Baduy di Kecamatan Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten melayangkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Juli lalu. Dalam surat tersebut, mereka meminta Jokowi untuk menghapus kawasan adat Baduy sebagai destinasi wisata dan menggantinya sebagai cagar budaya.
Para tokoh adat Suku Baduy merasa tantangan dalam melawan kuatnya arus modernisasi yang dibawa para wisatawan semakin berat. Para tetua adat khawatir akan mengalami kesulitan dalam menanamkan aturan adat yang sudah diberlakukan.
-
Apa saja yang diresmikan Jokowi di Sulawesi Barat? "Juga pembangunan 3 ruas jalan sepanjang 22,4 kilometer yang ditangani dengan Inpres Jalan Daerah," ucap Jokowi.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Kenapa Serka Sudiyono diundang ke acara Presiden Jokowi? Pada acara itu, Presiden Jokowi memberikan games-games menarik. Salah seorang yang berhasil maju ke podium adalah Serka Sudiyono.
-
Bagaimana Presiden Jokowi mengenalkan Prabowo Subianto sebagai Presiden Terpilih? Menlu Retno mengatakan bahwa Presiden Jokowi dalam setiap kesempatan dan acara selalu mengenalkan Prabowo Subianto selaku calon presiden terpilih.
Selain itu, tokoh adat Suku Baduy juga khawatir tatanan nilai adat pada generasi berikutnya akan runtuh.
Dosen Sejarah dan Kebudayaan Jawa FIB UI, Prapto Yuwono meminta, pemerintah agar bisa menghargai keputusan para tokoh adat Suku Baduy. Menurutnya, pemerintah tidak perlu mengeksploitasi Suku Baduy menjadi sumber pendapatan negara di sektor wisata.
Dia menilai, lebih tepat bila Suku Baduy dijadikan cagar budaya saja, bukan destinasi wisata. Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun 1990. Namun dalam beberapa tahun terakhir, Suku Baduy dijadikan destinasi wisata utama di Banten.
"Jangan eksploitasi mereka untuk dijadikan destinasi wisata. Biarlah mereka menjadi cagar budaya. Bahkan kalau kita jaga dan tidak kita usik, mereka bisa menjadi world heritage," katanya saat dihubungi Merdeka.com, Rabu (15/7).
Sejak dijadikan destinasi wisata, salah satu Pemangku Adat di Baduy, Jaro Saidi pun telah mengakui bila kehidupan masyarakat mulai terusik akibat masifnya eksploitasi wilayah yang tersebar di media sosial. Prapto mengatakan, eksploitasi tersebut juga didukung oleh pemerintah.
"Kepercayaan adat mereka memang begitu, orang luar tidak boleh ikut campur sekali pun pemerintah. Apalagi ditetapkan secara resmi sebagai destinasi wisata, itu mengganggu mereka," tegasnya.
Sebelum diresmikan menjadi destinasi wisata, sudah banyak masyarakat luar yang datang berkunjung ke Baduy untuk meneliti atau pun membuat film dokumenter. Bahkan bukan masyarakat Indonesia saja yang begitu penasaran dengan Suku Baduy, negara luar pun terpesona adat istiadat Suku Baduy yang masih dipegang teguh.
"Orang luar negeri juga sangat penasaran dengan Suku Baduy. Kekayaan budaya mereka terjual, terekspos dan tereksploitasi, jangan sampai pemerintah membiarkan dan tidak menjaganya," ujarnya.
Dinilai Kesalahan Pemerintah dan Masyarakat
Suku baduy dibagi menjadi dua, Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hanya Suku Baduy Luar saja yang boleh dijamah para wisatawan. Tidak untuk Baduy Dalam.
Orientasi Baduy Dalam terhadap kepercayaan leluhur masih sangat kuat. Mereka tidak bersosialisasi dengan dunia luar seperti Baduy Dalam. Mirisnya, para pendatang tidak mengerti akan hal itu.
"Baduy Luar masih boleh bergaul dengan dunia luar, tapi kan para wisatawan kebablasan. Mereka mengakses Baduy Dalam seenaknya. Sebelum ada wisata dan hanya dijadikan penelitian saja sebenarnya mereka sudah terganggu," terang Prapto.
Alasan mengapa Baduy meminta untuk dihapus dari destinasi wisata, menurutnya, merupakan salah pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri.
Dia berharap, pemerintah menjadikan hal ini sebagai suatu pelajaran. Jangan sampai suku lain di Indonesia yang kehidupannya masih sangat memegang teguh budaya leluhur nenek moyang, tidak dijaga dengan baik
"Pemerintah harusnya menjaga, jangan sampai dirusak. Ini berlaku juga untuk suku lain ya yang masih cenderung primitif seperti Dayak, Toraja, dan lain sebagainya," tutupnya.
Masyarakat Adat Baduy Kirim Surat ke Presiden
Masyarakat adat Baduy melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo meminta agar Baduy dicoret dari salah satu destinasi wisata nasional. Dengan pertimbangan mendesak, yakni dampak negatif modernisasi dan kunjungan wisatawan ke wilayah adat yang terkenal menjaga etika alam dengan ketat.
Dalam surat tertanggal 6 Juli 2020, masyarakat adat Baduy menyampaikan beberapa alasan permintaan mereka tidak lagi menjadi destinasi wisata.
Dalam surat itu disebutkan, perkembangan modernisasi yang semakin pesat dan beragam menjadi sebuah tantangan yang makin lama terasa semakin berat bagi para tokoh adat dalam rangka menanamkan pemahaman konsistensi menjalani proses kehidupan sosial-kultural kepada generasi saat ini. Tetua adat khawatir akan runtuhnya tatanan nilai adat pada generasi berikutnya.
"Meningkatnya kunjungan wisatawan ke wilayah Baduy menimbulkan dampak negatif, berupa pelanggaran-pelanggaran terhadap tatanan adat yang dilakukan oleh wisatawan dan jaringannya. Diantaranya tersebarnya foto-foto wilayah adat Baduy, khususnya Baduy Dalam, (Kampung Cikeusik, Cikertawarna, dan Cibeo) bahkan direkam dan dipublikasikan oleh sebuah lembaga milik asing," tertulis dalam surat yang ditandatangani dengan cap jempol oleh Jaro Saidi, Jaro Aja, dan Jaro Madali.
Padahal, tatanan adat masyarakat Baduy yang masih berlaku, tidak mengizinkan siapapun untuk mengambil gambar, apalagi mempublikasikan wilayah adat Baduy, khususnya wilayah Baduy Dalam.
(mdk/fik)