Kaos kaki berlubang, cermin kesederhanaan Sultan HB IX
Kesederhanaannya tercermin saat beliau nonton sepakbola dan wartawan melihat kaki beliau terpasang kaos kaki berlubang.
Kaos kaki berlubang. Tiga kata itu mungkin menjadi kunci cerminan bahwa almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah sosok yang sangat humanis dan penuh kesederhanaan.
Cukilan sejarah ini sempat di sampaikan oleh Sri Sultan HB X saat melakukan orasi budaya dalam acara Pengetan Panghargyan Satu Abad Sri Sultan HB IX di Pagelaran, Alun-alun Selatan, Kompleks Kraton, Yogyakarta.
Seorang sekelas Sri Sultan HB IX, yang panggilan kecilnya Dorojatun, dengan gelar saat itu sebagai Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur Provinsi DIY tidak malu menggunakan kaos kaki berlubang dan longgar.
"Kesederhanaannya tercermin saat beliau menonton sepakbola seorang wartawan melihat di kaki beliau terpasang kaos kaki berlubang dan longgar. Sampai-sampai untuk menahan melorotnya kaos kaki digunakan gelang karet untuk mengikatnya," kata Sri Sultan IX dalam orasinya yang disambut tepuk tangan kagum dengan cerita itu.
Keponakan almarhum Sri Sultan HB IX, KRM Maswito, anak dari GMRT Karto atau GBPH Prabuningrat yang menjadi pendamping Sri Sultan HB IX, membenarkan soal cerita kaos kaki berlubang dan longgar yang sering digunakan almarhum.
"Hidup sederhana benar. Seperti yang tadi dikemukakan Pak Sultan seperti itu tidak pernah berhias, sampai beliau memakai kaos kakinya longgar ada yang punya dokumen bahwa kaos kakinya bolong, ada lubang. Itu dilihat saat beliau menyaksikan pertandingan bola di lapangan Mandala Kridosono waktu itu," kisah Maswito.
Selain kesederhanaannya, Sri Sultan HB IX juga dikenal tidak mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya. Keluarganya baginya tidak terlalu dipentingkan beliau. Beliau mampu berkorban untuk orang lain. Sikap Sri Sultan HB IX walaupun sering bergaul dengan bangsa asing Belanda tidak pernah menganggap dirinya sebagai bangsawan.
"Ini yang tidak dikehendaki Sultan HB VIII maka dititipkan Dorojatun pada keluarga Belanda. Pendidikan seperti itulah yang harus bisa kita teladani. Sampai pada akhirnya beliau memegang pimpinan ini yang sangat dikagumi karena karakternya masih sama dengan famili yang lain. Hidup sederhana, mampu menjadi contoh, hidup jujur sebagai seorang kesatria," ungkap Masito.
Seorang kesatria, menurut ajaran Jawa adalah mempunyai jiwa nyawiji, greget, sembung dan ora minguk (tidak mudah tergoda).
"Nyawiji selalu berserikat dengan kanan kirinya dan selalu mendharmabhaktikan dirinya kepada yang mahakuasa nyawiji, greget adalah semangat, semangat supaya tidak lemah tapi tidak berlebihan, sembung mempunyai jatidiri, saya itu lain daripada yang lain. Saya begini jadi mempunyai pendirian,"ungkapnya.
Selain itu, sikap Pancasilais dan demokratis juga tercermin saat Sri Sultan memimpin rapat dan dalam keseharianya.
"Apabila bersikap selalu demokratis. Sultan itu kalau memimpin rapat semuanya diajak bicara kemudian diberi kesempatan mengemukakan pendapat. Baru yang terakhir dia mengambil kesimpulan. Kalau saya mempunyai pendapat begini. Gimana sebaiknya? Ini sebetulnya seorang pemimpin yang kayak begitu yang diharapkan bangsanya. Jadi begini merupakan sikap Pancasilais. Ini juga mengagumkan itulah yang dipraktikkan beliau sehari hari," tegasnya.
RM Maswito menjelaskan terbentuknya karakter Sri Sultan HB IX berkat pendidikan. Doktrin dan arahan dari ayahnya Sri Sultan HB VIII kepadanya menjadi rahasia umum rakyat Yogyakarta.
"Ini sebetulnya hasil pendidikan itu dari Sultan yang ke VIII. Banyak orang tidak tahu bahwa kuncinya ada di situ. Dikira Sultan VIII bergandengan dengan Belanda akan lebih mementingkan dan lebih dari Belanda. Ini mesti lebih Belanda dari Belanda. Maka pada satu saat waktu terjadi tarik ulur kontrak politik dengan Belanda dia sampai berucap: 'andaikata ayahandamu masih ada tidak akan terjadi kayak begini'," ujarnya.
"Sultan IX kemudian menjawab 'oh berarti Anda kalau demikian anda selama ini tidak mengerti apa yang sesungguhnya maksud dari ayah saya itu'. Mereka terkaget-kaget juga mereka tidak menduga jawaban itu," katanya.
Sultan jauh hari sebelum berangkat untuk sekolah ke Belanda sudah diberi penjelasan oleh ayahnya bahwa Belanda di negaranya sana berbeda dengan Belanda yang di sini yang menjajah di Indonesia.
"Kamu akan hidup bersama mereka cukup lama nanti. Tetapi pesan saya jangan sekali-kali kamu kepincut atau malah menikah dengan Belanda. Pesan ini sangat kuat disampaikan ayah Sultan IX sebab bisa diombang-ambingkan politik Belanda. Nah itu juga salah satu pendidikan dari Sultan VIII yang sudah bertahun-tahun pisah dari keluarga," ucapnya menirukan cerita ayahnya saat itu.
Selain itu, doktrin, budaya dan pendidikan jaman itu Sultan menganggap bahwa para bangsawan dekat dengan ibunya. Bahkan ibunya menjadi sesembahan dan disembah-sembah hal ini tidak dikehendaki Sultan HB IX seperti itu.
"Karena demokratisnya beliau karena pendidikan yang cukup lama bergaul lama dengan Belanda. Yang itu tidak disadari dan diduga oleh Belanda kok bisa Sultan menjadi prorepublik. Ini kekaguman seperti saya saya tahu secara mendalam karena bapak saya GMRT Karto atau GBPH Prabuningrat menjadi pendamping Sri Sultan IX waktu disekolahkan ayahandanya Sultan HB VIII di negeri Belanda Tahun 1930," tuturnya.
Ayahnya memang khusus diberikan tugas oleh Sri Sultan VIII untuk mendampingi almarhum Sri Sultan IX selama bersekolah di Belanda.
"Jadi saya dapatkan semua cerita itu banyak terutama dari ayah saya. Termasuk bagaimana cara melayani atau meladeni Sultan itu. Ini pesan dari ayah saya, 'begini, kalau kamu melayani Sultan maka pertama jangan sekali-kali ingin mendapatkan keuntungan materi'," ucapnya.
"Kedua, apabila memberikan konsep-konsep atau minta pertimbangan jangan hanya mengatakan 'monggo dawuh dalem' tapi berikan beliau alternatif banyak. Kemudian beliau akan memilih dan akan menambahkan wawasan," imbuhnya.
"Beliau tidak suka jika menghadapi orang yang nuwun inggih. Biasanya khan orang senang mendikte tetapi beliau tidak," pungkas RM Maswito.