Kapolda sebut anak buahnya tidak salah tangkap pelaku pengeroyokan
Saya mendapat laporan gugatan dari kuasa hukum tersangka ditolak, artinya penangkapan dinyatakan sah.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian, akhirnya buka suara menanggapi pemberitaan kasus 'salah tangkap' oleh penyidik Polres Metro Jakarta Timur, terhadap seorang tukang ojek, Dedi (33) atas dugaan pengeroyokan. Menurutnya, hukuman terhadap Dedi itu ada karena dirinya terbukti melakukan tindakan pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
"Beberapa waktu yang lalu, saya banyak menerima pertanyaan dari teman-teman media adanya seorang terdakwa yang 10 bulan lalu ditangkap oleh Polres Jaktim, dan telah diproses sampai tingkat banding, dirinya dinyatakan bebas. Dan dari situ, muncullah isu tentang adanya salah tangkap oleh kepolisian. Saya koreksi, saya kurang sepakat dengan istilah salah tangkap, karena kalau salah tangkap mengarah kepada penyalahgunaan kewenangan penangkapan oleh penyidik polri dalam hal ini Polres Jaktim. Betul yang bersangkutan ditangkap Polres Jaktim dalam kasus pengeroyokan," kata Tito di Polda Metro Jaya, Minggu (2/8).
Tito mengatakan, dalam pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia, Dedi terbukti ikut andil dan merupakan satu dari beberapa tersangka pengeroyokan tersebut. Usai ditetapkan sebagai tersangka, penasihat hukum Dedi pun melanjutkan proses hukum dengan mengajukan gugatan hukum pra peradilan.
"Kita memahami bahwa mekanisme untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan penyidik polri memang melalui mekanisme pengadilan. Saya mendapat laporan gugatan dari kuasa hukum tersangka ditolak, artinya penangkapan dinyatakan sah. Kalau gugatan diterima, maka penangkapan tidak sah. Jika penangkapan tidak sah, baru itulah yang disebut bahasa pasarannya salah tangkap," tambah Tito.
Tito menambahkan, dalam gugatan pra peradilan, dia mendapat laporan gugatan pra peradilan tersangka ditolak oleh pengadilan. Menurut dia, hal itu menunjukkan proses penangkapan dilakukan secara sah sesuai aturan hukum.
"Usai pra peradilan, kasus ini bergulir masuk ke kejaksaan dan P21. Saat kasus masuk ke Pengadilan Negeri, tersangka dinyatakan bersalah. Lalu mereka melakukan banding dan ditingkat Pengadilan tinggi baru dinyatakan Dedi tidak bersalah atau bebas. Tapi proses hukum masih belum selesai, belum inkracht. Masih ada upaya lain yaitu jaksa dapat melakukan kasasi. Kalau belum inkracht maka tidak tepat terdakwa tersebut dinyatakan tidak bersalah, kalau sudah inkracht tidak bersalah baru bisa disebut tidak bersalah," tambah Tito.
Dalam kasus ini, Tito berpendapat ada miss carriage of justice terjadi antara Polres Jaktim, Kejaksaan, dan Pengadilan. Sehingga menurutnya, ketiga instansi ini perlu melakukan pemeriksaan internal di mana letak salah prosedurnya.
"Jika memang Dedi dinyatakan tidak bersalah, maka seorang masyarakat yang dinyatakan tidak bersalah bisa diberikan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik. Itu hak, mekanismenya sudah diatur," ucap Tito.
"Keputusan hukum di sini juga kan belum final. Namun dari proses hukum yang ada, dengan Polri mengawasi pra penuntutan oleh jaksa, nantinya jaksa akan menilai perkara yang diajukan oleh polisi, apakah sesuai dengan trek dan cukup bukti. Jika cukup bukti, maka akan terbit P21 dan jika tidak cukup bukti akan terbit P18 atau P19. Nah ini kejaksaan Jaktim sudah P21, juga sudah sesuai dengan kriteria hukum yang berlaku. Otomatis penyidikannya dinyatakan sah. Jadi terminologi salah tangkap tolong jangan menggunakan itu, karena pra peradilan sudah menyatakan itu sah," tutup Tito.