Kasus Bakamla, KPK cegah politisi Golkar Fayakhun ke luar negeri
Kasus Bakamla, KPK cegah politisi Golkar Fayakhun ke luar negeri. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, selain Fayakhun pihaknya juga mengajukan pencegahan ke luar negeri terhadap Erwin S Arif, pihak swasta dari managing director PT Rohde&Schwarz.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan cegah kepada Direktorat Jenderal Imigrasi terhadap anggota DPR fraksi Golkar periode 2014-2019, Fayakhun Andriadi. Pencegahan dilakukan terkait dengan suap alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI).
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, selain Fayakhun pihaknya juga mengajukan pencegahan ke luar negeri terhadap Erwin S Arif, pihak swasta dari managing director PT Rohde&Schwarz. Keduanya dicegah dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk tersangka Nofel Hasan.
"Pencegahan dilakukan selama enam bulan ke depan," kata Febri di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (18/7).
Diketahui, dalam perkara pengadaan alat satelit monitoring sejumlah nama telah menjadi terpidana mulai dari pejabat Bakamla hingga pihak swasta yang melakukan tindak pidana suap.
Beberapa nama yang menjadi daftar pesakitan terkait kasus tersebut Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), Eko Susilo Hadi, dituntut jaksa penuntut umum KPK dengan hukuman penjara lima tahun penjara. Eko dianggap sah menerima suap Rp 2 miliar dari Direktur PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah terkait pengadaan alat satelit monitoring di Bakamla RI.
Sedangkan Fahmi, telah mendapat vonis 2 tahun 8 bulan penjara lantaran dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan telah memberi suap kepada Eko Susilo Hadi sebesar sebesar SGD 100.000, USD 88.500, dan 10.000 euro.
Selain itu, mantan sekretaris MUI itu juga dianggap terbukti menyuap Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bambang Udoyo sebesar SGD 105.000, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan SGD 104.500, dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp 120 juta dengan total suap SGD 309.500, USD 88.500, 10.000 euro, dan Rp 120 juta.
Vonis majelis hakim itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni 4 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Mendapat vonis tersebut, pihak Fahmi memutuskan untuk pikir-pikir terlebih dahulu sebelum memutuskan menerima vonis atau mengambil langkah hukum selanjutnya.
Sebelumnya anak buah Fahmi, M Adami Okta dan Hardy Stefanus lebih dulu dijatuhi vonis penjara 1,5 tahun denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan oleh majelis hakim. Sama dengan Fahmi, vonis keduanya lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta dan subsider 6 bulan kurungan.
Keduanya terbukti melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.