Kasus Setnov bukti Freeport halalkan semua cara demi kontrak
Skandal ini sepatutnya membuat pemerintah tidak memperpanjang kontrak Freeport di Papua.
Rekaman berisi pembicaraan antara orang yang diduga Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha M Riza Chalid dan Dirut PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, ramai menjadi pemberitaan. Ketiganya membicarakan soal perpanjangan kontrak Freeport dan mencatut nama Jokowi-JK.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf menilai, seharusnya kasus itu bisa membuka mata rakyat Indonesia. Menurutnya, skandal ini sepatutnya membuat pemerintah tidak memperpanjang kontrak Freeport di Papua.
Sebab, rekaman itu membuktikan jika Freeport menghalalkan segala cara, termasuk melakukan lobi-lobi, ke para pejabat negeri untuk memperpanjang kontrak.
"Jadi jangan hanya melihat (kasus) Novanto-nya, tapi juga harus melihat Freeport-nya. Jangan-jangan negosiasi-negosiasi seperti ini sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Masyarakat juga harus melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Freeport di Indonesia. Kalau bisa dibuktikan PT Freeport selama ini melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia, maka sebenarnya kontrak bisa dibatalkan," kata Asep saat dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Jumat (20/11).
Asep menjelaskan minimal ada dua persoalan serius lainnya terkait terbongkarnya rekaman diduga Setya Novanto yang diduga mencatut nama Jokowi-JK.
"Yaitu proses penegakan hukum dan demokrasi juga masalah konstitusional utamanya terkait pasal 33 UUD 45. Ini luput dari perhatian dan masyarakat hanya fokus pada Setya Novanto saja," ujar Asep.
Menurutnya pengambilan rekaman tanpa seizin yang bersangkutan dan kemudian disebarkan juga tanpa izin, adalah proses melanggar hukum. Dia menilai, terlepas dari kebenaran isi rekaman tersebut, jika hal ini bisa digunakan sebagai bukti hukum, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga bisa dijebak dengan yurisprudensi pada kasus ini.
"Yang namanya merekam apalagi sampai menyebarkan ini harus seizin yang bersangkutan. Kalau pengusaha saja bisa menjebak seorang pimpinan lembaga tinggi negara seperti ini, bisa dibayangkan tidak jika penguasa melakukan hal seperti ini pada rakyatnya? Dampak ini yang harus dipikirkan," tambah Asep.
Dia menilai, rakyat nantinya akan ketakutan untuk berbicara dan mengkritik penguasa karena khawatir setiap pembicaraannya bisa direkam oleh siapapun untuk dilakukan proses hukum pada dirinya.
"Jika ada yang bicara jelek tentang penguasa dan kemudian ada yang melaporkan, kemudian orang tersebut kemudian ditindak atas dugaan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan, repot rakyat nantinya," ucapnya.
Proses penegakan hukum, menurut Asep, harus dilakukan sesuai dengan hukum. Penegakan hukum tanpa menggunakan aturan hukum, maka akan mengakibatkan kesewenang-wenangan.
Menurutnya, hal ini nampaknya disadari oleh pemerintah yang hanya melaporkan Setya Novanto ke MKD tanpa melaporkan ke aparat penegak hukum. Pemerintah nampaknya sadar bahwa jika hal ini dilaporkan ke aparat hukum, maka Setya Novanto bisa menuntut balik karena bagaimanapun rekaman ini tidak bisa dijadikan bukti hukum.
"Jika bukti didapatkan tidak melalui proses hukum yang benar, maka pengadilan pun bisa menolak dan membatalkan bukti yang diajukan. Bahkan bukan tidak mungkin pihak yang digugat bisa menuntut balik. Ini makanya saya lihat pemerintah pun enggan melaporkan ke aparat hukum dan hanya melaporkan ke MKD. Makanya Menko Polhukam pun buru-buru mengatakan bahwa presiden tidak akan memperpanjang dan melaporkan kasus ini," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Asep memberi contoh kasus rekaman video artis Ariel Peterpan dengan beberapa wanita. Ariel dikenakan hukuman karena merekam tanpa izin dan penyebarnya juga dikenakan hukuman.
"Yang wanitanya kan tidak dikenakan hukuman. Masalah bahwa para wanita tersebut melanggar hukum agama atau hukum pernikahan kan tidak diadili. Kalau pidananya adalah asusila, maka semua wanita yang terlibat juga harus kena juga saat itu Ini nampaknya yang dikhawatirkan oleh si pelapor, merekam dan menyebarkan tanpa izin," terang dia.
Sementara soal laporan ke MKD, hal itu sangat tergantung pada DPR sendiri sebagai lembaga. Sebab, proses yang terjadi di DPR itu adalah proses politik, bukan proses hukum pidana umum.
"Seperti pada kasus Bill Clinton dan Monica Lewensky. Meski terbukti ada tindakan asusila dan terbukti bahwa Bill Clinton berbohong, senat AS memutuskan bahwa Clinton tidak bersalah dan proses pengadilan impeachtment pun gagal. Jadi berkaca pada kasus ini justru yang bisa kena kasus Sudirman Said dan Novanto bebas," paparnya.
Kasus ini juga, menurutnya, membuka mata rakyat Indonesia, bahwa banyak yang tidak beres dengan PT Freeport Indonesia selama menjalankan operasinya di Indonesia.
"Utamanya pelanggaran UUD pasal 33 dimana disebutkan bumi air dan semua yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sekarang yang dapat besar rakyat apa PT Freeport? Kalau Freeport yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari rakyat, itu pelanggaran konstitusi," pungkasnya.