Kenapa pembunuhan massal usai G30S paling banyak terjadi di Bali?
Pembantaian terjadi secara spontan. Dendam lama bisa menyebabkan orang dituduh PKI dan dibunuh.
Peristiwa Gerakan 30 September, atau dikenal G30S telah menyebabkan krisis politik di seluruh Indonesia. Kejadian ini menyebabkan aksi pembantaian besar-besaran, bahkan korbannya tak hanya kader Partai Komunis Indonesia (PKI) saja, tapi mereka yang dianggap berseberangan atau membahayakan kelompok-kelompok tertentu.
Dari seluruh daerah di Indonesia, Bali merupakan lokasi yang paling parah dan paling banyak memakan korban saat operasi penumpasan G30S diluncurkan. Tidak kurang dari 100 ribu orang tewas dibunuh.
"Jumlah yang dibunuh di Bali itu sangat besar, mencapai 5 persen dari populasi. Lebih dari 100 ribu orang tewas dibantai," ujar penulis buku 'Nasib Para Soekarnois' Aju kepada merdeka.com, beberapa waktu lalu.
Tragedi berdarah ini berlangsung selama setahun, yakni tahun 1965 sampai 1966. Konflik bermula dari kisruh internal Partai Nasional Indonesia (PNI), antara Anak Agung Bagus Sutedja dengan I Nyoman Mantik.
Kebencian Mantik yang tumbuh kepada Sutedja bukan tanpa alasan. Sikap bermusuhan dimulai Mantik karena Presiden Soekarno lebih memilih Anak Agung Bagus Sutedja untuk menjadi Gubernur Bali yang pertama, sejak Bali resmi menjadi provinsi mandiri. Sebelumnya, Bali merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil ketika pengakuan kedaulatan diberikan Belanda.
Alasan Soekarno memilih Sutedja karena dianggap cerdas dan memiliki kesamaan visi dengan pemerintah pusat, apalagi Sutedja merupakan pendukung pemikiran-pemikiran Bung Karno. Padahal, Mantik mendapatkan suara terbanyak dan seharusnya bisa menduduki jabatan tertinggi di Pulau Dewata.
Selain kisruh internal parpol, potensi pembantaian besar-besaran juga dipicu oleh persaingan antar bangsawan di Bali. Mereka ingin merebut kekuasaan atau menjabat posisi lebih tinggi. Alhasil, hanya dengan melaporkan sosok tersebut terafiliasi PKI, aparat langsung menculik dan mengeksekusinya.
Ulah kader dan simpatisan PKI juga menjadi salah satu penyebabnya. Mereka kerap merendahkan atau menyepelekan umat Hindu di Bali. Alhasil, ketika G30S pecah, mereka menjadi orang yang paling diburu umat Hindu.
Memasuki awal 1 Desember 1965, pemerintah pusat memanggil Gubernur Sutedja ke Jakarta. Di saat bersamaan, sekelompok massa PNI dari berbagai lokasi di bawah kendali Mantik menyerbu Puri Agung Negara Djembrana. Rumah-rumah yang sudah ditandai sebagai kader atau simpatisan PKI diserbu, satu per satu penghuninya diseret keluar, kemudian dipukuli beramai-ramai dan dibunuh.
Massa juga menjarah berbagai benda berharga dan peninggalan yang disimpan di dalam puri. Hanya sebagian saja yang berhasil diambil kembali pada 1975. Sebanyak 16 pengurus dinyatakan tewas dibunuh.
Penculikan yang terjadi pada Gubernur Sutedja membuat suasana di Bali semakin mencekam. Aksi pembunuhan tak lagi menyasar kepada kader maupun relawan PKI, tapi mereka yang dianggap musuh oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan, agar pembantaian tampak religius, dilaksanakan ritual Nyupat.
Merasa di atas angin, Mantik semakin menjadi dalam membuat berbagai teror di Bali. Ditambah lagi kedatangan RPKAD, sehingga pembantaian terjadi hampir di seluruh tanah Pulau Dewata. Bahkan, dibentuk pula kelompok yang disebut Tameng, para anggotanya dikenal sadis dan tak kenal ampun. Jika ingin lolos, maka keluarga yang sudah dijadikan target harus merelakan putrinya disetubuhi. Mereka yang punya dendam, bisa melaporkan dan mencap lawannya sebagai PKI.
Saat ini, masih ada beberapa anggota Tameng yang masih hidup. Namun, kehidupan mereka sangat menderita dibandingkan saat berlangsungnya pembantaian besar-besaran itu. "Mungkin itu karma yang mereka dapat," tulis Aju dalam bukunya 'Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966, terbitan Yayasan Penghayat Keadilan.