Kepada Pansus, eks hakim PN Jakpus tuding KPK rekayasa kasusnya
Syarifuddin bercerita, KPK terus berupaya mengelabui eksekusi putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan praperadilannya di Mahkamah Agung. Caranya, dengan mengutus perwakilannya KPK menggunakan surat kuasa bukan peruntukannya.
Mantan hakim PN Jakpus Syarifuddin Umar menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Pansus angket KPK. Di hadapan Pansus, Syarifuddin mengadukan dugaan pelanggaran prosedur penanganan kasus korupsi oleh KPK.
Pelanggaran prosedur itu, kata Syarifuddin, diperlihatkan KPK dengan merekayasa rekaman percakapan suara dirinya di persidangan. Rekaman itu diputar dalam sidang kasus suap sengketa tanah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Bagaimana KPK merekayasa, memutar percakapan yang diperdengarkan oleh KPK menyatakan kami akan memperdengarkan suara hakim Syarifuddin berbicara menyangkut permintaan uang," kata Syarifuddin di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/8).
"Namun saksi di persidangan menyatakan setelah mendengar, bukan lagi 100 persen tapi 1000 persen itu bukan suara hakim Syarifuddin," sambungnya.
Kepada Pansus, Syarifuddin memperlihatkan gambar jalannya persidangan yang didalamnya berisi video rekayasa penyadapan oleh KPK. Dari rekayasa itu, Syarifuddin menduga KPK berencana mengkriminalisasi dirinya dengan konspirasi jahat dengan nama besar KPK.
Oleh karena itu, dia menyebut kedatangannya menemui Pansus adalah untuk mencari keadilan. Apalagi dugaan penyimpangan tersebut juga telah dilegitimasi dengan putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan praperadilannya terkait penangkapan oleh KPK.
"Saya melakukan gugatan perbuatan melawan hukum, dimana alat bukti yang saya gunakan adalah produk sendiri KPK bahwa KPK telah melakukan penyalanggunaan jabatan dan wewenangnya," ujarnya.
Lebih lanjut, Syarifuddin bercerita, KPK terus berupaya mengelabui eksekusi putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan praperadilannya di Mahkamah Agung. Caranya, dengan mengutus perwakilannya KPK menggunakan surat kuasa bukan peruntukannya.
"Pembodohan yang saya maksud manusia yang ditunjuk KPK untuk datang mewakili KPK menggunakan surat kuasa, tetapi surat kuasa itu bukan untuk datang menyaksikan dan menyerahkan uang ganti rugi, tetapi surat kuasa peninjauan kembali padahal negara sudah putus PKnya," paparnya.
Terpisah, Ketua Pansus angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengungkapkan, laporan Syarifuddin soal rekayasa rekaman percakapan itu menjadi tambahan bukti bahwa KPK melakukan pelanggaran kinerja.
Pansus akan mempertanyakan sejauh mana standar operasional prosedur (SOP) soal penyadapan tersebut.
"Payung hukumnya dia sudah tidak memiliki lagi pasca putusan MK harus ada UU penyadapan interception, kan belum ada," tandasnya.
Perkara ini berawal saat KPK menangkap Syarifuddin sebagai tersangka kasus penyuapan hakim di rumahnya, Jalan Sunter Agung Tengah 5 C No. 26, Jakarta Utara pada 1 Juni 2011. KPK menyita uang tunai Rp 392 juta dan US$ 116.128, kemudian 245 ribu dolar Singapura, 20.000 yen, serta 12.600 riel Kamboja.
KPK juga menangkap PT Skycamping Indonesia (SCI) Puguh Wirawan. Puguh diduga menyuap Syarifuddin agar dapat izin menjual aset PT SCI berupa sebidang tanah di Bekasi, Jawa Barat, yang diperkirakan bernilai Rp 16 miliar dan Rp 19 miliar. Padahal PT SCI itu dinyatakan pailit.
Syarifuddin divonis 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp 150 juta subsider 4 bulan penjara. Ia terbukti secara sah menerima suap sengketa tanah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dia terbukti melanggar pada dakwaan keempat yakni Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan menerima suap berupa uang senilai Rp 250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia Puguh Wirawan.
Dia kemudian mempraperadilankan KPK atas penangkapan itu. Syarifuddin menganggap KPK semena-mena.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lalu memenangkan gugatan Syarifuddin. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan, penyitaan yang dilakukan KPK dalam penangkapan Syarifuddin tidak sah karena tanpa surat penggeledahan.
Syarifuddin dalam gugatannya mengajukan permohonan ganti rugi sebesar Rp 60 juta dan kerugian immateriil sebesar Rp 5 miliar. Menurut hakim ketua sidang praperadilan, Matheus Samiaji pada 19 April 2012, kerugian Rp 60 juta itu tidak terinci serta berdasarkan perkiraan dan asumsi semata, sehingga tidak dapat dikabulkan atau ditolak.
Sedangkan kerugian immateril, kata Samiadji dapat dikabulkan, tapi tidak sebesar Rp 5 miliar. Itu karena KPK tidak memiliki harta kekayaan sendiri, melainkan bergantung dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Atas putusan itu, KPK mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta lalu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait gugatan perdata hakim Syarifuddin Umar terhadap KPK.
Putusan PN Jaksel itu menyatakan KPK melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan kerugian terhadap Syarifuddin. KPK juga diharuskan membayar kerugian kepada Syarifuddin sebesar Rp 100 juta, serta mengembalikan 26 jenis barang milik Syarifuddin yang disita. KPK lalu mengajukan kasasi ke MA.