Kerusuhan Mei 98, Jakbar dibanjiri orang tak dikenal
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Peristiwa 13-15 Mei 1998, ternyata mempunyai pola umum, ada provokator.
Kerusuhan Mei 1998 selalu akan dikenang sebagai masa kelam dalam sejarah Indonesia. Pada waktu itu, sebagian kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Solo, hingga Medan seolah lumpuh. Di kota-kota itu muncul kerusuhan massa yang melakukan perusakan, pembakaran, vandalisme, hingga penjarahan.
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998, ternyata kerusuhan Mei itu mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa secara pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal).
Kemudian setelah itu muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya.
Salah satu pelaku sejarah Mei 1998, yang menyaksikan sendiri kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, khususnya di Jakarta Barat, Jaja menuturkan, dia menyaksikan roda perekonomian di Jakarta berhenti setelah kejadian penembakan Mahasiswa Trisakti pada Selasa 1998. Contohnya pasar Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat.
"Pokoknya pas ada penembakan mahasiswa di Grogol, besoknya (Rabu, 13 Mei), di Glodok habis toko-toko dijarah," tutur Jaja, petugas parkir yang berada di bawah kolong jembatan area perbelanjaan Glodok kepada merdeka.com, Sabtu (11/5).
Pria yang sudah sejak tahun 1984 menjadi tukang parkir di kawasan Glodok itu menceritakan, awal-awal kerusuhan yang berbuntut pada penjarahan massal toko-toko di Harco Glodok itu bermula sekitar pukul 08.00 WIB. Ratusan massa yang tidak diketahui berasal dari mana, berkumpul di depan Harco Glodok.
"Saya enggak tahu dari mana datangnya itu orang-orang, yang pasti bukan orang sekitar sini. Awalnya mereka hanya ngumpul-ngumpul, baru sorenya, mereka mulai ngejarah toko-toko di harco. Sebelum mereka ngejarah, basement Glodok City ini ada yang ngebakar," ujar Jaja.
Meski massa sudah mulai berkerumun di depan Harco Glodok, pria asal Pandeglang, Banten ini tidak melihat adanya petugas keamanan berjaga di sekitar lokasi. Petugas keamanan seperti TNI, khususnya Marinir disiagakan di depan Plaza Gajah Mada. Sedangkan di kawasan Taman Sari, dia tidak melihat adanya petugas keamanan.
"Kalau di sini ga ada petugas. Tapi kalau di sana, di Gajah Mada, banyak Marinir yang stand by," terang Jaja.
Pada Rabu sore, sekitar pukul 15.00 WIB, ratusan warga yang sudah berkerumun dari pagi tersebut mulai melakukan penjarahan. Mereka membongkar dan membawa lari peralatan elektronik seperti televisi, radio, hingga kulkas. Saat itu, Jaja hanya bisa terdiam, tanpa bisa melakukan apa-apa melihat penjarahan tersebut.
"Tapi meski toko-toko pada dijarah, orang-orang sini bilang harco jangan ada yang dibakar," ujar Jaja.
Kerusuhan tidak hanya terjadi di sekitar Harco Glodok, di Stasiun Kereta Api Beos, ratusan massa membakar kendaraan melintas. Kendaraan yang dibakar tersebut dibiarkan teronggok di tengah jalan.
"Yang saya lihat, orang-orang yang naik motor, yang lewat stasiun Beos, motornya dibakar, orangnya ada juga yang dipukulin," kata Jaja.
Selain di wilayah Kecamatan Taman Sari, sejumlah kecamatan di Jakarta Barat dilanda kerusuhan yang berujung pada aksi penjarahan, dan pembakaran pusat perbelanjaan. Di Kecamatan Kembangan, sejumlah supermarket Hero, Jameson, hingga bioskop 21 dijarah dan dibakar. Di Cengkareng, Plaza Cengkareng juga tidak luput dari aksi penjarahan dan pembakaran.