Kisah Elita, penjual otak-otak di Muara Angke dapat beasiswa kuliah
Dari hasil berjualan otak-otak tersebut Elita mampu menyisihkan uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kesan bau amis, kotor dan kumuh begitu melekat pada setiap kampung di kawasan pesisir pantai yang ada di tanah air. Begitupun dengan salah satu kawasan pesisir utara Jakarta, yakni Muara Angke.
Kawasan yang mayoritas warganya adalah nelayan ini terbilang kehidupan ekonominya tak mewah. Apalagi kalau sampai bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang putih abu-abu.
'Gapailah mimpimu setinggi langit'. Ungkapan itu bagi sebagian dari mereka hanyalah sebuah deretan alfabet. Bisa sekolah di perguruan tinggi saja sudah bisa jadi kebanggaan, apalagi jika perguruan tinggi tersebut punya standar kualitas internasional.
Bagi sebagian anak di kawasan Muara Angke, mengenyam pendidikan di bangku sekolah tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Terlebih ekonomi orangtua mereka sebagai nelayan yang penghasilannya pas-pasan.
Melebarkan jala dan mengeringkan hasil tangkapan sudah menjadi makanan sehari hari bagi mereka. Semua itu dilakukan demi membantu orangtua mereka mencari nafkah.
Namun hal tersebut tak menjadi batu sandungan bagi Elita Tirta Triningrum, anak nelayan warga Jalan Empang, Muara Angke, Jakarta Utara. Tekadnya mampu membawanya meraih asa.
Elita mampu meraih beasiswa dari salah satu kampus yang merupakan pengembang properti terbesar di Indonesia, Podomoro University. Tapi semua itu dia capai dengan tidak mudah.
"Saya sehari hari ngajar anak-anak, kalau libur itu bantu mamah sama bapak jualan otak-otak. Cuman kalau misalnya emak ada yang bantu ya saya ngelaut sama bapak," ujar Elita kepada merdeka.com, Kamis (15/10).
Kehidupannya memang seperti anak-anak nelayan pada umumnya. Tapi keinginan mengenyam pendidikan tinggi membuat hati nuraninya terdongkrak. Elita selalu menyempatkan diri setiap hari untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak pesisir di Muara Angke. Ajaran itu diberikan Elita tanpa pamrih.
"Kalau ngajar jujur saya relawan murni, dari saya kelas 2 SMK sudah aktif ngajar sampai sekarang masih aktif ngajar PAUD, TPA, Sanggar, PKBM. Ngajar anak nari juga sama bantuin anak-anak sekitar mengerjakan tugasnya, karena mereka perlu dibantu juga," kata dia.
Ayah Elita hanya seorang nelayan yang berpenghasilan rata-rata Rp 50 ribu per-hari. Sedangkan ibunya, hanya seorang buruh jahit dengan penghasilan Rp 57 ribu per-hari.
Di mata kedua orangtua, Elita dikenal sebagai anak yang sangat mengerti kondisi keuangan keluarganya. Sejak sekolah Elita dikenal jarang meminta uang jajan.
"Alhamdulillah dia ga pernah ngeluh capek," ujar Ibunda Elita, Nengsih.
Anak ke-3 dari pasangan Nengsih dan Shaleh ini mencari tambahan jajan dengan menjajakan otak-otak di pelabuhan Muara Angke. Dia hanya berjualan pada hari Sabtu saja. Dari hasil berjualan tersebut Elita mampu menyisihkan uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Inisiatif sendiri dengan berjualan otak-otak itu ya emang enggak seberapa hasilnya. Cuman ya bisa disisihin dari uang jual otak-otak itu diolah lagi biar cukup untuk seminggu kuliah. Kalau kuliah bawa bekel dari rumah," ucap Elita.
Elita bercerita jika kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya membuat dirinya sempat pesimis untuk bisa sekolah tinggi. "Karena lihat kondisi Mamah sama Papah dulu sempat pesimis atau kerja aja gitu biar biayain orangtua. Cuma Mamah bilang, ngebahagiain Mamah tuh enggak mesti Ita kerja atau ngasih uang kayak gitu," ujar perempuan yang pernah menjadi Duta Anak Indonesia ini.
"Dengan Ita berkegiatan dan ngasih ilmu untuk orang lain Mamah udah senang. Kalau ada keinginan selalu ada jawaban. Dulu waktu kecil, pengen pernah jadi guru, dan akhirnya kesampean dengan mengajar anak-anak sekarang. Saya pengen anak-anak Muara Angke bisa jadi seperti saya untuk bisa dapet beasiswa," kenang Ita saat menuturkan kisahnya.
Elita tidak pernah malu dengan kondisi keluarganya. Dirinya justru bangga memiliki kedua orangtua yang berjuang keras demi anaknya.
"Saya nggak malu, malah justru bangga punya Ayah yang berjuang untuk saya sampai sebesar ini. Mamah juga sampai berjuang saya sampai SMA," paparnya.
Perjuangan orangtuanya memang begitu keras, Elita bercerita pengalaman pahit saat sedang berjuang mendapatkan beasiswa. Jika perahu yang digunakan ayahnya tenggelam saat mencari kerang, padahal saat itu Elita saat butuh biaya untuk ikut beasiswa. Tapi dirinya bersyukur karena yang terpenting ayahnya selamat.
Elita punya harapan setelah lulus nanti ingin anak-anak Muara Angke bisa termotivasi untuk bisa sekolah tinggi. Elita juga punya harapan ingin membuat yayasan di seluruh pesisir Indonesia.
"Saya pengen pendidikan anak di pesisir bisa terpenuhi," tuturnya.
Selain itu Elita berharap bisa membangunkan 'Istana' untuk ibundanya serta bisa membelikan sang Ayah sebuah kapal untuk berlayar. Elita punya pesan kepada seluruh anak di Indonesia, terutama bagi anak-anak yang ada di pesisir pantai agar bisa bersekolah tinggi.
"Semua orang bisa sekolah tinggi, enggak ada alasan untuk mereka tidak sekolah tinggi, karena jalur beasiswa kan banyak," kata dia.