Kisah mantan Kapolri serahkan anaknya ke proses hukum
Ada staf yang menyarankan agar kasus ditutup-tutupi dengan alasan bisa memengaruhi karir Widodo.
Pertengahan Mei 1973 akan selalu diingat keluarga Jenderal Pol Widodo Budidarmo. Ketika itu, keluarga Widodo berduka setelah sopir keluarga mereka, Sugianto tertembak pistol yang dipegang Tono, putra Widodo yang saat itu baru duduk di bangku SMP.
Peristiwa itu terjadi saat Widodo masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya dengan pangkat mayor jenderal polisi. Ketika itu Tono dan Sugianto menjemput adiknya Tina di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan. Sebelum berangkat, rupanya Tono masuk ke kamar kerja Widodo di rumah dinas.
Saat itu, tidak seperti biasanya, Widodo lupa mengunci ruang kerjanya. Tono melihat sepucuk pistol di laci meja kerja ayahnya. Pistol itu dibawanya.
Dalam perjalanan, pistol itu diperlihatkan kepada Sugianto yang kemudian memberi Tono sebutir peluru. Saat menunggu Tina, di jok belakang Tono memainkan pistol itu. Ia ingin tahu cara kerja pistol itu. Dia putar-putar dan gerakkan hingga tiba-tiba pistol itu menyalak. Tono terperanjat dan panik saat melihat darah keluar dari tubuh Sugianto yang duduk di jok sopir.
Orang-orang di sekitar langsung mengerubungi mobil. Nyawa Sugianto tak bisa diselamatkan.
Peristiwa itu membuat Widodo terkejut dan sedih. Dia yakin peristiwa itu akan menjadi berita di koran-koran. Sebagai orangtua dia juga membayangkan dampak buruk peristiwa itu bagi Tono.
Apa langkah Widodo berikutnya? Dia langsung mengumpulkan stafnya. Dia meminta masukan terhadap kasus yang menimpa anaknya. Ada staf yang menyarankan agar kasus ini ditutup-tutupi dengan alasan bisa memengaruhi karir Widodo.
Setelah berpikir, Widodo pun ambil keputusan. Dia tidak akan menutupi kasus itu. Dia memilih bertanggung jawab dan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Widodo kemudian menyerahkan kasus ini agar diperiksa aparat Polsek Kebayoran Baru, Jaksel.
Widodo kemudian menggelar jumpa pers untuk menjelaskan kejadian itu. Di depan pers, dia kembali menegaskan sikapnya, menyerahkan kasus ini untuk diproses hukum. "Kalau pers akan memberitakan peristiwa ini terserah. Hanya saja, saya pesankan agar objektif. Ini hanya suatu kecelakaan. Jangan sampai nanti anak saya dicap sebagai pembunuh dan sebagainya sehingga mempengaruhi pertumbuhannya," kata Widodo seperti dikutip dari buku biografinya, Karena Kuasa dan Kasihnya terbitan Praja Bhakti Nusantara dan Q Communication tahun 2004.
Selanjutnya Widodo melaporkan peristiwa itu kepada atasannya Kapolri Jenderal Polisi M Hasan, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dan Menhankam/Pangab Jenderal M Panggabean. Widodo juga melapor kepada Presiden Soeharto. Dia mengaku lalai dan siap meletakkan jabatannya. Tetapi, semua menyatakan apa yang dialami Widodo adalah musibah yang harus diambil hikmahnya.
Tono kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia dihukum masa percobaan selama setahun. Peristiwa itu terbukti tidak menghalangi karier Widodo Budidarmo. Dia bahkan dipromosikan untuk menjabat sebagai Kepala Polri tahun 1974.
Kini, dalam kasus dan situasi berbeda, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengalami seperti dihadapi Widodo Budidarmo. Mobil BMW X5 yang dikemudikan M Rasyid Amrullah, putra Hatta Rajasa menabrak Daihatsu Luxio bernomor polisi F 1622 CY di Tol Jagorawi. Akibatnya 2 penumpang Luxio tewas, Harun (57 tahun) dan M. Kaihan (14 bulan). Atas perbuatannya itu, Rasyid ditetapkan sebagai tersangka. Rasyid terancam hukuman 5 tahun penjara.
"Kita kenakan, penyidik Gakum (kenakan) Pasal 283 junto Pasal 287 ayat 5 Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ancaman (hukuman) lima tahun ke atas," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Rabu (2/1).
Sehari sebelumnya, Hatta Rajasa memberi keterangan kepada pers. Sebuah keteladanan hukum ditunjukkan Hatta. "Kami serahkan sepenuhnya proses ini kepada kepolisian, saya mohon doa restu saudara sekalian agar putra kami pulih, agar dia dapat menjalani proses hukum," jelas Hatta saat melakukan jumpa pers di kediamannya di Cipete, Jakarta, Selasa (01/01). Kini, publik menunggu proses hukum yang transparan.