Kisah mistis fotografer liput Tsunami Aceh
"Saya pulang dan sampai Jakarta, entah kenapa saya mulai merasakan keranjingan minum-minuman keras," kata Arbas.
Mendekati momen-momen peringatan bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam, mencuatlah sejumlah penuturan kisah dari pihak-pihak yang sempat mengunjungi Banda Aceh pasca-bencana maha dahsyat tersebut.
Arie Basuki, seorang fotografer yang sempat meliput dan mengambil gambar langsung di Banda Aceh setelah tsunami, menuturkan rangkaian tugas peliputannya sepanjang perjalanan dari Medan ke pusat kota Banda Aceh.
Pria yang akrab disapa Arbas ini menceritakan, setelah sampai di Medan, dirinya kesulitan mencari kendaraan yang hendak mengantarnya menuju Lhokseumawe. Penyebabnya sejumlah akses untuk menuju ke sana telah terputus. Setelah mencari-cari, akhirnya ia mendapatkan mobil sewaan berupa mobil minibus L300 plus jasa sopir, untuk menempuh 12-13 jam perjalanan dari Kota Medan menuju Lhokseumawe.
"Karena saat itu masih jamannya DOM (Daerah Operasi Militer), maka di dalam perjalanan saya dan sopir kerap kali berhenti di setiap pos penjagaan militer untuk ditanyai segala macam. Pas kita bilang mau lihat kondisi di Banda Aceh karena dilaporkan terjadi bencana, setiap pos itu coba memastikan kita bahwa tidak ada kejadian apa-apa di sana. Tapi kita berkeras tetap menuju ke sana dan akhirnya diizinkan," kata Arbas seperti dituturkan kepada merdeka.com, Rabu (24/12).
Setelah memasuki Lhokseumawe, Arbas mengaku mulai menemui kerumunan-kerumunan warga guna menanyakan perihal kejadian yang baru saja terjadi. Sejumlah warga mengaku bahwa ada bencana air bah besar di Banda Aceh, dan korban dikabarkan sudah mencapai sekitar 5000 orang.
"Saat itu nggak ada yang bisa memastikan telah terjadi apa, dan korbannya berapa. Semua jalur komunikasi masih terputus dan info yang kita dapatkan pun masih simpang siur," kata Arbas.
Setelah sampai di Lhokseumawe, Arbas mengaku mulai bertemu beberapa fotografer dari sejumlah media, yang tiba di Lhokseumawe bersama rombongan Kasad. Setelah berbincang dengan mereka, akhirnya ia sepakat untuk memberikan tumpangan mobil sewaan yang ditumpanginya itu kepada para fotografer tersebut, sekaligus mendapatkan teman-teman seperjalanan yang seprofesi untuk sama-sama bertugas.
Saat tiba di Banda Aceh pada waktu subuh (28/12/2004), atau tepat 2 hari pasca-kejadian, Arbas mengaku rombongannya itu langsung dibuat merinding sekujur badan, karena melihat gelimpangan mayat yang begitu memilukan di berbagai tempat.
Mereka kemudian berhenti sekitar 200 meter dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Dengan kondisi masih terhenyak akan kondisi memilukan yang ada, mereka mulai melihat-lihat kondisi di dalam masjid, dimana begitu banyak warga yang berhasil selamat dari terjangan tsunami, yang masih tertidur bersama mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam masjid.
"Jadi sampai di Banda Aceh itu kita subuh. Dan saat matahari mulai terang, disitu kita semua shock melihat begitu banyak mayat di pinggir jalan, di dalam mobil, bahkan di atas pohon. Pokoknya dimana-mana itu mayat berserakan seperti (maaf) sampah. Kondisinya sangat memilukan sekali, bahkan ada sebagian mayat yang sedang dimakan anjing liar," tutur Arbas.
Arbas dan kawan-kawan sesama fotografer langsung bekerja mengambil gambar-gambar yang mereka butuhkan sebagai laporan. Dirinya mengaku, saat itu ia dan kawan-kawan fotografer lainnya seakan tak kuat melihat semua pemandangan yang begitu memilukan tersebut, hingga mereka terlihat sekedarnya saja mengambil gambar sesuai kebutuhan laporan.
Karena keterbatasan segala sesuatunya, terutama dalam hal jaringan internet untuk mengirimkan laporan dan foto-foto yang mereka ambil di Banda Aceh, selama beberapa hari itupun mereka terpaksa harus bolak-balik Lhokseumawe-Banda Aceh, guna melakukan tugas peliputan pemotretan kondisi, dan mengirimkan hasilnya dari Lhokseumawe.
"Kita itu datang hari kedua setelah gelombang tsunami menghancurkan seluruh isi kota. Kondisinya sangat porak-poranda. Perjalanan Lhokseumawe-Banda Aceh itu sekitar 6 jam, dan selama 5 hari itu rutinitas kita bolak-balik dari Lhokseumawe, menuju Banda Aceh, sampai di sana pagi, 5-6 jam ambil gambar, lalu siang hari balik lagi ke Lhokseumawe untuk kirim gambar. Baru setelah 5 hari, beberapa jasa provider buka pemancar darurat di Kantor Gubernur," kata Arbas.
"Bantuan itu baru pada masuk dari Medan sekitar hari ke 4. Masyarakat dari sekitar Aceh sendiri saat itu baru mulai intens memberi bantuan, karena mungkin mereka benar-benar baru mengetahui bencana tersebut karena keterbatasan informasi dan telekomunikasi yang ada. Di hari ke 4 pasca-terjangan tsunami itu lah baru mulai ada penguburan massal di daerah Ulee Lheu, Banda Aceh, yang sekarang jadi kuburan massal di sana," katanya menambahkan.
Arbas menuturkan prosesi penguburan mayat secara massal pertama di wilayah Ulee Lheu tersebut, dimana lubang besar seluas 50 meter persegi dibuat untuk mengubur mayat-mayat yang sudah mulai membusuk. Dirinya menuturkan, prosesi penguburan massal itu dilakukan dengan ala kadarnya, karena tidak memungkinkan untuk dilakukan prosesi formal penguburan dengan mayat yang berjumlah ribuan tersebut.
Arbas bahkan menceritakan, saat penguburan massal pertama di wilayah Ulee Lheu tersebut, mayat-mayat yang jumlahnya sangat banyak itu langsug dimasukkan begitu saja ke lubang, dengan kondisi pakaian bahkan perhiasan lengkap seperti saat meninggalnya.
"Saat itu lah saya mencoba turun sedikit ke arah lubang, untuk mengambil gambar deretan mayat yang sudah siap diuruk tanah tersebut. Karena sedikit terpeleset, akhirnya saya nggak sengaja menginjak rambut dari seorang mayat perempuan, hingga rambut-rambut tersebut mengelupas dan terlepas dari batok kepalanya," tutur Arbas.
"Ternyata setelah hari ke delapan saya pulang dan sampai Jakarta, entah kenapa saya mulai merasakan keranjingan minum-minuman keras tanpa sebab. Sampai saat saya ketemu teman yang paham hal-hal mistis, dia bertanya: 'Di belakang kamu ada siapa? Kayaknya ada cewek berjilbab hitam ngikutin kamu?' kata teman saya itu. Saya kaget, akhirnya saya ceritakan bahwa saya habis liputan ke Aceh. Maka teman saya itu melakukan mediasi kepada makhluk halus berupa arwah wanita berjilbab hitam itu, hingga akhirnya mengetahui bahwa ia mengikuti saya hanya untuk meminta bantuan menghubungi keluarganya yang masih hidup. Tapi karena saya nggak mengerti apa-apa, jadi itulah penyebab benturan energi sehingga pikiran saya jadi kacau dan akhirnya keranjingan minum-minuman keras tanpa sebab," ujarnya.
Baca juga:
Selain hadiri peringatan tsunami Aceh,JK juga bakal ziarah kubur
Kisah korban tsunami dikira meninggal, ternyata pulang ke rumah
Cerita ajaib Suku Moken, diterjang tsunami 2004 cuma satu tewas
Menengok wajah baru Aceh pasca 10 tahun tsunami
Lokasi di Aceh ini dulu daratan, pasca-tsunami jadi lautan
10 Tahun setelah tsunami, Banda Aceh sudah bergeliat
-
Kapan Museum Tsunami di Banda Aceh didirikan? Museum Tsunami menjadi monumen untuk memperingati bencana tsunami yang melanda Aceh pada penghujung 2004.
-
Mengapa Museum Tsunami Aceh dirancang dengan konsep seperti Rumoh Aceh? Museum ini berkonsep seperti Rumoh Aceh dan on escape hill dan secara gaya arsitektur mengedepankan nilai-nilai Islam, budaya lokal, dan abstraksi tsunami.
-
Mengapa Masjid Baiturrahim Ulee Lheue disebut sebagai saksi bisu tsunami Aceh? Bangunan berwarna putih dengan balutan pilar-pilar menghiasi bagian depan ini dulunya sempat menjadi pengungsian di masa pemerintahan Hindia Belanda. Mengunjungi Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Saksi Bisu Dahsyatnya Tsunami Aceh 2004 Sebuah bangunan religius terletak tidak jauh dari pelabuhan ini memiliki nilai historis yang tidak bisa dibeli menggunakan apapun. Lebih dari itu, bangunan ini menjadi saksi bisu kedahsyatan bencana alam Tsunami Aceh pada tahun 2004 silam.
-
Kapan gempa dan tsunami Aceh yang menghancurkan Rumah Sakit Umum Meuraxa? Peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 2004 masih terus dikenang sampai saat ini.
-
Apa yang menjadi tujuan utama dari pembangunan Museum Tsunami Aceh? Museum yang dirancang sebagai bangunan simbolis untuk mengenang tragedi Tsunami tahun 2004 silam sekaligus tempat edukasi dan tempat perlindungan darurat bencana alam.
-
Dimana lokasi Museum Tsunami Aceh berada? Letaknya berada di Jalan Sultan Iskandar Muda, dekat dengan Simpang Jam serta berseberangan dengan Lapangan Blang Padang.