Kisah Soekarno ngecengin calon istri Henk Ngantung
Beberapa minggu sebelum menikah dengan Henk Ngantung, Evie Misesa mengaku sempat dipanggil Soekarno.
Kisah Soekarno dengan wanitanya seolah tak habis untuk diceritakan. Bahkan mantan Presiden pertama ini juga pernah 'ngecengin' calon istri gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung, Evie Misesa.
Di usianya yang sudah senja, rona kecantikan Evie memang masih bisa terlihat. Perempuan berdarah Manado ini pun punya cerita tentang pengalamannya dengan Bung Karno.
Beberapa minggu sebelum menikah dengan Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau juga dikenal dengan nama Henk Ngantung, Evie tiba-tiba dipanggil ke istana.
"Saya ditanya oleh Soekarno apa benar mau menikah dengan bapak (Henk Ngantung)?" ujar Evie kepada merdeka.com di kediamannya Gang Jambu, Dewi Sartika, Jakarta Timur, Rabu (8/8).
Soekarno seolah ingin mengatakan bahwa Evie jangan menikahi Henk Ngantung. Namun Evie tetap pada pendiriannya. "Saya dijodohkan oleh orang tua saya," terang Evie.
Saat itu usia Evie baru 20 tahun, sedangkan Henk Ngantung telah 38 tahun. Evie dijodohkan dengan Henk, lantaran sang ayah mengenal baik Henk Ngantung yang masih menjabat sebagai Deputi Gubernur Jakarta.
Dua minggu kemudian, Evie kembali dipanggil secara pribadi ke istana. Kali ini undangan pun resmi. Evie masih tidak mengetahui maksud Soekarno mengundangnya ke Istana.
Namun sebelum masuk Istana, Evie berjumpa dengan temannya yang saat itu bekerja di Istana Merdeka. Evie pun segera dinasehati.
"Temen saya itu bilang, kalau diundang sama bapak (Soekarno) jangan mau. Bapak itu tidak bisa melihat perempuan cantik," terangnya.
Mendengar penjelasan demikian, Evie segera balik badan. Dia pun bergegas pulang dan tidak jadi ke Istana meskipun sudah masuk di komplek ring satu itu.
Dan selang dua minggu kemudian dia menikah dengan Henk Ngantung. Pernikahan tersebut langgeng hingga ajal memisahkan mereka. Sang suami meninggal pada 12 Desember 1991.
Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan "Gelanggang". Henk juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958.
Henk lalu ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno, Gubernur DKI saat itu. Banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung, namun Soekarno punya pendirian lain. Proklamator tersebut ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik.
Henk lalu diangkat menjadi Gubernur Jakarta untuk periode 1964 hingga tahun 1965. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Tapi semuanya tidak berhasil.
Setelah tidak menjabat sebagai gubernur, Henk Ngantung tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991.
Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di rumah kecil di gang sempit Cawang, Jakarta Timur.
Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.