Komnas PA: Sejak 2010, Indonesia darurat kejahatan terhadap anak
Arist Merdeka mengatakan, selama ini pihaknya menemukan adanya kasus pelanggaran anak sebanyak 21 juta kasus. Pelanggaran terhadap hak anak yang dimonitor dari berbagai lembaga peduli anak yang tersebar di 179 kabupaten/kota di 34 provinsi dari tahun 2010-2016.
Meningkatnya pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima Komnas Perlindungan Anak perlu disikapi serius. Persoalan pelanggaran terhadap hak anak, dalam beberapa waktu ke belakang menunjukan angka yang cukup signifikan.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, selama ini pihaknya menemukan adanya kasus pelanggaran anak sebanyak 21 juta kasus. Pelanggaran terhadap hak anak yang dimonitor dari berbagai lembaga peduli anak yang tersebar di 179 kabupaten/kota di 34 provinsi.
"Dari total tersebut 21.689.797 kasus yang dikumpulkan Pusdatin Komnas Perlindungan Anak, 58 persen merupakan pelanggaran berupa kejahatan seksual anak. Dan sejak tahun 2010 hingga saat ini, sebenarnya Komnas Perlindungan Anak menyatakan Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak," katanya di sela-sela Seminar Nasional Anak, Perempuan dan Perubahan Sosial di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Senin (21/11).
Arist mengemukakan, data yang disampaikan sejak tahun 2010 hingga 2016, kecenderungan kasus kejahatan seksual anak mengalami peningkatan. Dari data yang dirilis Komnas Perlindungan Anak, menyebut 82 persen korban kasus kejahatan anak berasal dari golongan keluarga menengah bawah.
"Bahkan, kasus kekerasan seksual anak tersebut juga terjadi di Purwokerto. Yang paling mengejutkan, dari 10 kejahatan seksual yang dilakukan, enam di antaranya merupakan incest," ujarnya.
Ia menyebut, dari fakta tersebut tercermin bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak, ternyata menjadi tempat 'predator anak'. Pun di lembaga sekolah, pondok, panti asuhan hingga ruang publik. Tak hanya itu, ia mengemukakan sebaran kasus kejahatan anak terjadi secara massif baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan.
Arist mengemukakan, persoalan tersebut terjadi karena penegakan hukum yang masih lemah. Bahkan, ia menyebut ada beberapa kasus kejahatan seksual anak yang masih dikategorikan dalam kejahatan biasa.
"Padahal, kejahatan seksual anak merupakan kejahatan extra ordinary crime. Sehingga dibutuhkan penegakan hukum yang tegas untuk melindungi hak anak sesuai dengan ratifikasi konvensi PBB yang diadopsi pemerintah Indonesia selama 26 tahun," ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan pendidikan dari Unsoed, Nanang Martono menguraikan persoalan yang dihadapi anak di ruang sekolah. Menurut dia, selama ini kerap terjadi persoalan bias gender dalam praktik pendidikan di sekolah.
"Pada kenyataannya, kecenderungan ini tidak serta merta hanya merugikan kelompok perempuan saja, laki-laki juga dirugikan atas berbagai stereotype yang 'disosialisasikan' di lingkungan sekolah," ujarnya.
Selain itu, Nanang mengemukakan praktik pendidikan nasional belum mampu mewujudkan pendidikan ramah anak. Posisi anak, kata Nanang, masih termarjinalkan karena mereka selalu menjadi objek kebijakan yang tidak humanis.
"Anak diposisikan sebagai individu pasif, sehingga berbagai pengetahuan ditanamkan secara kuat dalam pikiran anak," jelasnya.
Dalam seminar tersebut, hadir juga pembicara lainnya yakni, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan Kepala Kantor International Organization for Migration (IOM) Hong Kong, Nurul Qoiriyah. Agenda seminar tersebut merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-32 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed Purwokerto.