Komunitas Aleut, mengenalkan Bandung lewat jelajah jalan kaki
Banjir, macet, sampah, alih fungsi lahan bak cermin keterpurukan Bandung di usianya yang menginjak 202 tahun.
Bandung dari masa ke masa bergerak begitu dinamis. Kota yang disebut nyaman, aman dan harmonis bisa menjadi bom waktu jika pertumbuhan penduduk tak mampu dibendung.
Sebagai ibu kota Jawa Barat, secara ideal kota ini harusnya hanya ditinggali 500 ribu jiwa. Namun apa yang terjadi dewasa ini. Penduduk Bandung mencapai 2,7 juta.
Kota adalah tempat di mana warganya hidup, bekerja, bercanda dan beraktivitas. Sebuah kota diharapkan bisa benar-benar kebahagiaan untuk warganya.
Namun tumbuh kembangnya Bandung, tak jarang menjadi masalah. Banjir, macet, sampah, alih fungsi lahan, menjadi titik balik cermin keterpurukan Bandung di usianya yang menginjak 202 tahun.
Keprihatinan akan masa depan Bandung membuat sejumlah warga bergerak, Komunitas Aleut misalnya yang berdiri sejak 2006 lalu. Berangkat dan peduli dari permasalahan yang ada, sekumpulan mahasiswa dari berbagai latar belakang coba memahami apa yang terjadi.
Dengan metode berjalan kaki, Aleut berusaha mengapresiasi, memahami masalah Bandung.
Tak kenal maka tak sayang. Istilah ini menjadi panduan tersendiri untuk lebih mencintai Bandung. Melalui cara ngaleut (datang, lihat dan belajar) banyak informasi didapat.
Aleut sendiri memiliki arti berjalan beriringan. Untuk menimbulkan interaksi positif dan memahami (dengan) warganya, perlu adanya hal yang diingatkan.
Melalui sebuah laman aleut.wordpress.com aktivitas pencatatan, pendokumentasian, dan publikasi adalah salah satu cara membangun ingatan warga. Dengan adanya metode itu diharapkan warganya makin peduli dan mencintai kotanya.
"Jangan bilang cinta Bandung, kalau sebenarnya masih menanyakan masalah Bandung itu apa," terang Koordinator Aleut Hani Septia Rahmi saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (11/1).
Sejak berdiri 8 tahun silam, sudah ribuan tempat disambangi komunitas yang sudah beranggotakan sekitar 700 orang. Komunitas ini memang punya cara sendiri untuk mencintai kotanya.
"Kami tidak frontal mengkritisi kebijakan pemerintah, tapi kami hanya menjalankan apa yang kiranya berguna buat kami sebagai pengetahuan dan orang lain melalui apa yang sudah didapat dan dituangkan ke dalam media tulisan," imbuh perempuan jebolan ITB tersebut.
Dia sadar bentuk kepedulian warga Bandung sudah sangat kurang. Permasalahan yang ada terkadang dibuat warganya sendiri. Warga yang apatis, pengusaha yang oportunis menjadikan Bandung sulit untuk dibanggakan dewasa ini.
"Kalau bukan warganya siapa lagi yang mau peduli," terangnya.
Aleut melalui gerakan ngaleutnya membuka bagi siapa saja yang ingin tahu Bandung. Melalui jalan-jalannya, itu adalah bentuk cinta warga terhadap kota bahkan mengetahui permasalahannya. Tentu dengan solusinya juga.
"Jadi untuk mencintai Bandung mulailah dari hal-hal kecil, berhentilah membuang sampah sembarangan," ucap dia yang berharap Pemerintah bisa membenahi kawasan pedestrian di Bandung.