Korupsi proyek Dermaga Sabang, eks pejabat BPKS divonis 6 tahun
Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Ismy sebesar Rp 200 juta.
Mantan Deputi Teknik Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Ramadhani Ismy dijatuhi pidana penjara selama enam tahun, oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Hakim menyatakan Ismy terbukti menyalahgunakan wewenang sehingga merugikan keuangan negara, dan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri sebanyak Rp 3,2 miliar, dalam proyek pembangunan Dermaga Sabang pada Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang sejak 2006 sampai 2011.
"Menjatuhkan pidana penjara oleh karenanya kepada terdakwa Ramadhani Ismy selama enam tahun. Dikurangkan dari masa tahanan seluruhnya," kata Hakim Ketua Saiful Arif saat membacakan amar putusan Ismy, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (22/12).
Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Ismy sebesar Rp 200 juta. Bila tidak dibayar, maka dia mesti menggantinya dengan kurungan selama tiga bulan.
Ismy juga dituntut pidana tambahan. Yaitu mengganti kerugian negara sebesar lebih dari Rp 3,204 miliar. Apabila dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dia tidak membayarnya, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Bila hasil lelang tetap tidak mencukupi, maka dia mesti menggantinya dengan pidana penjara selama dua tahun.
Hal memberatkan adalah bertentangan dengan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Sementara keadaan meringankan adalah sopan, mengakui perbuatan, dan belum pernah dihukum.
Ismy diyatakan terbukti melanggar dakwaan primer. Yakni Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Menurut Hakim Anggota Casmaya, Ismy selaku Pejabat Pembuat Komitmen dalam pekerjaan pembangunan Dermaga Sabang tahun 2006-2011 terbukti korupsi. Dia memaparkan akibat penyimpangan pada proyek ini, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 313,345 miliar.
Kerugian ini terjadi karena tiga hal yakni, selisih penerimaan riil dan biaya riil 2006-2011 sebesar Rp 287,270 miliar. Kedua, kekurangan volume terpasang 2006-2011 sebesar Rp 15,912 miliar. Ketiga, penggelembungan harga satuan dan volume pada kontrak subkontraktor sebesar Rp 10,162 miliar.
Hakim Anggota Ugo menyatakan, BPKS pada 2004 mendapat alokasi anggaran pembangunan Dermaga Sabang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Dalam proses pengadaan barang/jasa pembangunan konstruksi Dermaga Bongkar Sabang, Ismy diangkat sebagai sekretaris panitia pengadaan dengan pimpinan proyek Zulkarnain Nyak Abbas.
Sebelum pelaksanaan lelang, Kepala BPKS Zubir Sahim melakukan kesepakatan dengan Kepala PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh, Heru Sulaksono. Mereka berjanji proyek pembangunan bakal diserahkan kepada PT Nindya Karya.
Namun dalam praktiknya, perusahaan pelat merah itu juga mengoper beberapa pekerjaan utama, dan dengan harga sudah dinaikkan. Mereka juga membentuk joint operation (kerja sama operasi) dengan perusahaan lokal, PT Tuah Sejati, yang kemudian dinamakan Nindya-Sejati JO.
Setelah JO terbentuk, Zubir Sahim memerintahkan Zulkarnaen Nyak Abbas memenangkan Nindya Sejati JO dalam proses pelelangan. Kemudian Zulkarnaen Nyak Abbas meminta Nindya-Sejati JO memasukkan penawaran dan mencari perusahaan pendamping.
Guna memenuhi kelengkapan administrasi pelelangan, Zulkarnaen memerintahkan Ismy membuat administrasi pelelangan pekerjaan konstruksi Dermaga Bongkar Sabang. Atas perintah itu, Ismy membuat kelengkapan administrasi pelelangan dan meminta panitia pengadaan, pihak Nindya Sejati JO, dan empat perusahaan pendamping (PT Pelita Nusa Perkasa, PT Reka Bunga, PT Flamboyan Huma Arya dan PT Bina Pratama Persada) menandatangani dokumen pelelangan agar seolah-olah telah dilakukan proses pelelangan.
Zulkarnaen selaku pimpro lantas menetapkan Nindya Sejati JO sebagai pemenang lelang pada 8 Juli 2004. Heru Sulaksono bersama Zulkarnaen kemudian meneken surat perjanjian kerja jasa konstruksi dengan nilai kontrak Rp 7,105 miliar.
BPKS pada 26 Oktober 2004 melakukan pembayaran uang muka 20 persen dari nilai kontrak setelah dipotong pajak Rp 1,266 miliar kepada Nindya Sejati JO. Tetapi pada kenyataannya sampai dengan berakhirnya masa kontrak Nindya Sejati JO tidak melaksanakan pekerjaan sebagaimana dalam kontrak.
Proyek ini sempat terhenti karena bencana tsunami 26 Desember 2004. Selanjutnya proyek Dermaga Bongkar Sabang dilanjutkan pada tahun 2006-2011.
Selain memperkaya diri sendiri, Ismy juga terbukti memperkaya orang lain. Yakni Heru Sulaksono (Rp 34,055 miliar), Teuku Syaiful Achmad (Rp 7,490 miliar), Sabir Said Rp (12,721 miliar), Bayu Ardhianto (Rp 4,391 miliar), Saiful Ma'ali (Rp 1,229 miliar), Taufik Reza (Rp 1,350 miliar), Zainuddin Hamid (Rp 7,535 miliar), Ruslan Abdul Gani (Rp 100 juta), Zulkarnaen Nyak Abbas (Rp 100 juta), Ananta Sofwan (Rp 977,729 juta).
Perseroan turut kecipratan duit korupsi antara lain PT Nindya Karya (Rp 44,681 miliar), PT Tuah Sejati (Rp 49,908 miliar), PT Budi Perkasa Alam (Rp 14,304 miliar), PT Swarna Baja Pacific (Rp 1,757 miliar) serta pihak-pihak lainnya sebesar Rp 129,543 miliar.
Awal Desember lalu, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Ismi dengan pidana penjara selama 7,5 tahun. Jaksa juga menuntut Ismy dengan pidana denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan.
Ismy juga dituntut pidana tambahan. Yaitu mengganti kerugian negara sebesar lebih dari Rp 3,2 miliar. Apabila dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dia tidak membayarnya, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Bila hasil lelang tetap tidak mencukupi, maka dia mesti menggantinya dengan pidana penjara selama tiga tahun.
Atas putusan itu, Ismy menyatakan menerima. "Yang mulia, Alhamdulillah, saya tidak akan banding dan menerima semua putusan," kata Ismy.
Sementara jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir atas vonis itu. "Kami pikir-pikir," kata jaksa.