Lestarikan budaya, Mbah Suto tak ingin kebiasaan kunyah kinang hilang
Usia tak menghalanginya terus berjualan. Kesetiaan dan kegigihan nenek berusia 93 tahun ini nguri-uri (melestarikan) budaya sungguh luar biasa. Patut dijadikan contoh.
Usia tak menghalanginya terus berjualan. Kesetiaan dan kegigihan nenek berusia 93 tahun ini nguri-uri (melestarikan) budaya sungguh luar biasa. Patut dijadikan contoh.
Adalah Suto Dimejo atau akrab disapa Mbah Suto, seorang nenek yang berjalan 'kinang' di area Sekaten depan Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta. Nenek 3 anak ini mengaku berjualan kinang sejak banjir bandang di Solo tahun 1966.
"Kula sadean kinang niki kawit banjir bandang kala mben, sak yahketen. Dep depipun nguri-uri budaya Jawi mas. (Saya jualan kinang ini sejak banjir bandang Kota Solo sampai sekarang. Ini sekaligus untuk melestarikan budaya Jawa)," ujar Mbah Suto, saat ditemui merdeka.com, Jumat (1/12).
Mbah Suto prihatin, budaya mengunyah kinang yang mempunyai banyak manfaat sudah hampir luntur. Tak ada generasi muda apalagi warga kota yang melestarikannya. Bahkan sebagian besar tak mengetahui budaya 'nginang' atau mengunyah kinang tersebut.
Kinang yang terdiri dari daun sirih, gambir, injet (kapur) dan tembakau, merupakan ramuan tradisional yang dikunyah di mulut dan tidak ditelan. Usai dikunyah, penikmat yang rata-rata ibu rumah tangga kemudian menggosokan tembakau dan kembang kanthil pada gigi.
"Nginang niku marai awet nom, wojo saget kuat, putih lan kenceng. (Mengunyah kinang itu bikin awet muda, gigi kuat, putih dan kecang)," terangnya.
Dalam tradisi Jawa, mengunyah kinang secara bersama dilakukan saat perayaan Sekaten atau Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini sudah mulai memudar dan mulai dilupakan orang.
Kesetiaan Mbah Suto melestarikan budaya Nginang tak perlu diragukan lagi. Selain dilakukan sejak muda, ia juga menurunkan kepada anak cucu maupun keponakannya.
Sujiyem (55), anak kedua mbah Suto mengaku selalu berjualan kinang saat Sekaten tiba. Di depan Masjid Agung, ia bersama ibu dan keponakannya, menggelar dagangan kinang, telur asin dan bunga tabur. Selama sepekan. Meski bukan pekerjaan pokok, namun Sujiyem mengaku senang bisa berjualan.
"Selain mendampingi ibu saya, sekaligus ini ikut nguri-uri budaya. Siapa lagi kalau bukan kita mas," katanya.
Sujiyem mengaku meski sudah tua, namun Mbah Suto selalu dikaruniai kesehatan. Mbah Suto tak mau jika hanya diam di rumah menikmati masa tuanya. Dalam kesehariannya Mbah Suto pun masih terus bekerja, membantu saudaranya membuat krecek.
"Niki regine setunggah setunggal ewu mawon. Sedinten nggih payu satus kinange. (Ini harganya satu kinang seribu. Sehari bisa laku seratus kinang," pungkas dia.
Walinem (65) dan Sadinem (67), warga Jumantono, Karanganyar mengaku sebagai pelanggan setia Mbah Suto. Ia tak pernah membeli kinang di tempat lain. Menurutnya, mengunyah kinang bisa membuat awet muda. Apalagi jika dilakukan di Sekaten, ia yakin akan mendatangkan berkah tersendiri.
"Saya tiap hari nginang, tapi tiap Sekaten pasti beli di sini. Kalau kinangnya Mbah Suto ini rasanya berbeda. Injetnya, gambir dan tembakaunya enak dibanding yang lain," tutur Walinem.
Dalam penyajiannya kinang yang terdiri dari campuran tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet (kapur sirih) dan kembang kanthil selalu dibungkus dengan conthong (kerucut) yang terbuat dari daun pisang.