Lumpur Lapindo, wilayah bencana dianggap mirip zona perang
Tenggat penyelesaian permasalahan lumpur Lapindo hingga September 2015.
Delapan tahun sudah lumpur di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo dan Desa Kedungrendo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terus menyembur. Selama itu pula warga setempat yang terpaksa hengkang karena rumah mereka hancur terendam belum menemui kepastian.
Semburan lumpur pun meluas ke daerah sekitarnya. Hingga kini mereka tak bisa kembali ke rumah tempat mereka lahir dan belajar berjalan.
Lumpur dari lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc., menghancurkan seluruh kenangan indah mereka. Kampung, sawah, gudang, pabrik, dan mata pencaharian warga setempat tercerabut.
Mereka terpaksa angkat kaki, bila tak mau tenggelam diterjang aliran lumpur panas. Semburan itu sampai saat ini tidak bisa dihentikan. Segala cara sudah dicoba, tapi hasilnya nihil. Banyak orang mendadak kehilangan tumpuan hidup. Mereka terpaksa tinggal di penampungan darurat. Semburan lumpur makin lama malah semakin meluas, tapi pemerintah seolah tidak berdaya meminta pihak-pihak terkait bertanggung jawab. Salah satunya Aburizal Bakrie, yang saat itu sebagai salah satu pemodal kegiatan eksplorasi itu.
Pemerintahan Joko Widodo berjanji menuntaskan permasalahan itu. Presiden Joko Widodo di hadapan para korban Lumpur Lapindo sempat menyatakan, dia menargetkan proses pembayaran terhadap korban lumpur ini akan berakhir pada September 2015.
"Paling lambat pada September ini proses pembayaran tersebut sudah selesai dilakukan," tegasnya.
Jokowi mengatakan, proses pembayaran terhadap korban lumpur senilai Rp 767 miliar, dan baru dibayarkan sebesar Rp 319 miliar.
"Saya selalu menyampaikan ke menteri, kepala BPLS, Gubernur dan ke Bupati, segera jangan ditunda jangan dihambat, tapi memang kan semua harus diversifikasi dengan baik," kata Jokowi saat itu.
Selain urusan ganti rugi, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono memerintahkan beberapa tugas kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Menurut Basuki, salah satu hal harus dilakukan oleh BPLS pada agenda 2016 adalah melakukan penataan kawasan. Baik itu yang ada di dalam peta areal terdampak atau juga yang ada di luar area terdampak.
"Kondisi yang ada saat ini kan seperti wilayah bekas perang. Oleh karena itu saya meminta supaya BPLS melakukan penataan seperti menjadikannya ruang terbuka hijau," kata Basuki saat melawat ke titik 25 tanggul semburan lumpur, kemarin.
Basuki berharap, dengan selesainya proses pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur, maka kerja BPLS bisa berjalan dengan lancar, tanpa adanya hambatan dari warga korban lumpur.
"Kami berharap sudah tidak ada lagi aksi blokade jalan oleh warga korban lumpur yang dapat mengganggu proses pekerjaan BPLS," ujar Basuki.
Basuki juga meminta BPLS memeriksa kondisi di bawah kolam penampungan Lumpur Lapindo.
"Saya meminta kepada BPLS untuk melakukan tiga hal sebagai program tahun 2016 mendatang, seperti memeriksa kondisi di bawah kolam penampungan Lumpur Lapindo apakah berongga atau tidak," tambah Basuki.
Basuki menambahkan, dia juga meminta kepada BPLS memeriksa kekuatan tanggul yang ada saat ini.
"Hal tersebut dilakukan karena tanggul yang ada saat ini merupakan golongan bendungan besar yakni lebih dari lima belas meter," ucap Basuki.