Mahasiswa Aceh sebut SBY tak layak dapat gelar doktor HC
"SBY itu telah gagal menciptakan perdamaian secara nyata di Aceh," ungkap mahasiswa Aceh dalam aksinya.
Sejumlah mahasiswa Aceh yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Aceh dalam rangka meresmikan pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh ke-6 dan penerimaan gelar kehormatan DR Honoris Causa dari Unsyiah.
Mahasiswa menilai, SBY terlalu menuruti setiap keinginan politik mantan kombatan GAM yang sudah tergabung dalam Partai Aceh (PA). Mereka menilai SBY lalai dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
"SBY itu telah gagal menciptakan perdamaian secara nyata di Aceh, perdamaian terhadap korban konflik untuk memenuhi kesejahteraannya dan memenuhi hak-hak korban Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi masa konflik Aceh lalu," kata Ketua BEM Fakultas Hukum, Unsyiah, Riko Ari Pratama, Kamis (19/9) sehari sebelum kedatangan SBY ke Aceh.
Penolakan SBY datang ke Aceh berlangsung dalam aksi di pelataran kampus Fakultas Hukum Unsyiah. Dalam aksi tersebut, sejumlah mahasiswa menempelkan poster dan tulisan-tulisan yang bernada penolakan kedatangan SBY.
Sementara itu, Riko Ari Pratama dalam aksi tersebut juga menyoroti terkait pemberian gelar Dr (HC) untuk SBY oleh Unsyiah. Menurutnya, pemberian gelar untuk SBY tidak layak, hal ini mengingat SBY belum bisa menciptakan keamanan yang hakiki untuk Aceh dengan menciptakan kesejahteraan rakyat dan korban konflik.
"Gelar DR (HC) untuk SBY kami nilai tidak layak, karena SBY belum bisa menciptakan kesejahteraan secara baik untuk rakyat, terutama para korban HAM di Aceh," imbuhnya.
Tidak hanya itu, Riko juga menuding SBY tidak tegas dalam menyikapi konflik politik keberadaan Wali Nanggroe di Aceh. "SBY juga tidak tegas menolak atau tidak terhadap Wali Nanggroe, padahal Wali Nanggroe telah melampauinya kewenangannya sesuai dengan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA)," imbuhnya.
Dijelaskannya, dalam UUPA, lembaga Wali Nanggroe hanya sebagai pemangku adat, tidak termasuk dalam ranah politik dan kekuasaan. Nyatanya sekarang, sebutnya, lembaga tersebut telah dijadikan alat kekuasaan.