Melongok kampung tukang cukur di Garut
Tokoh Kampung Parung, Dede Saefudin, mengatakan terakhir jumlah tukang cukur di Desa Bagendit lebih dari 3.000 orang.
Kampung Parung terletak di Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kaum pria warga kampung ini mayoritas penduduknya bekerja sebagai tukang cukur. Mereka menyebar terutama ke Bandung dan Jakarta. Sebagian lagi membuka kios cukur di seantero Garut.
Tokoh Kampung Parung, Dede Saefudin, mengatakan terakhir jumlah tukang cukur di Desa Bagendit lebih dari 3.000 orang, sebagian besar berasal dari Kampung Parung.
Mantan Kepala Desa Bagendit ini mengatakan, tradisi mencukur rambut Kampung Parung sudah berlangsung sejak lama. Bahkan konon usianya setara dengan republik ini.
Dede sendiri pernah praktik nyukur dari 1977 sampai 2003. Ia membuka kios cukur di Rawamangun dan Rawasari, Jakarta. Kini kios tersebut diteruskan oleh anak dan adiknya.
Ia menyatakan, jasa tukang cukur yang merantau ke kota-kota besar tidaklah kecil. Mereka selalu mentransfer uang untuk keluarga atau istri mereka. "Seminggu sekali BRI di sini selalu penuh oleh warga yang memeriksa transferan," katanya kepada Merdeka Bandung.
Ia memprediksi, dari sekitar 3.000 orang tukang cukur asal Desa Bagendit, ada sekitar 2.000 orang di antaranya bekerja di Bandung dan Jakarta. Jika dalam seminggu atau sebulan sekali mereka mentransfer uangnya antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, maka total uang yang mereka transfer sekitar Rp 2 miliar.
Uang yang mereka transfer ibarat darah segar bagi desa yang terkenal karena danau legendaris Situ Bagendit itu. Sebagian warga Bagendit bermatapencaharian di ladang dan sawah. Padi dan jagung menjadi komoditas utama mereka.
Dede menyebutkan, keberlangsungan pertanian warga tidak lepas dukungan modal para pria yang menjadi tukang cukur di kota. "Tanpa transfer dari mereka, pertanian di sini sangat sulit di tengah mahalnya benih dan pupuk. Sedangkan hasil panen kan harganya tidak pasti," katanya.
Dengan kata lain, uang transferan para tukang cukur di kota dipakai oleh warga desa untuk mengolah ladang dan sawah, membeli pupuk dan benih."Tanpa tukang cukur mungkin petani di sini sudah lama berhenti," katanya.
Ia menuturkan, suatu waktu para tukang cukur merasa prihatin dengan jalan desa yang rusak. Padahal jalan merupakan akses utama menuju sawah. Maka ribuan tukang cukur iuran untuk pembangunan infrastruktur desa. "Mereka patungan membangun jalan, sekolah dan masjid," kata Dede yang kini hidup bertani.