Mengintip situs purba makam leluhur Minahasa Waruga Lotta
Sayangnya, sebagian besar waruga yang berada di lokasi ini telah dirusak tangan-tangan jahil.
Waruga merupakan situs megalitikum makam leluhur orang Minahasa zaman dulu. Makam kuno ini tersebar di beberapa daerah di Minahasa seperti Sawangan, Lotta Pineleng dan lokasi lainnya.
Situs budaya Waruga Lotta berada di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara, sekitar 10 kilometer dari Pusat Kota Manado. Lokasinya dapat ditempuh selama kurang lebih 20 menit menggunakan transportasi umum dari Terminal Karombasan.
Di pintu masuk utama situs terdapat patung burung Manguni atau burung hantu di kiri kanan. Burung Manguni merupakan simbol Minahasa yang digunakan sebagai logo daerah Minahasa. Pada zaman dulu, burung ini dipercaya sebagai pembawa pesan dari Opo Empung (Tuhan) tentang adanya kabar baik maupun buruk.
Memasuki kawasan situs, terlihat 3 buah Waruga berukuran lebih besar dari waruga-waruga lainnya. Dituturkan Pemimpin Adat (Tonaas) Christian Rinto Taroreh, makam purba tersebut milik pemimpin dan pendiri Wanua (desa) Kali Tua yang kemudian berganti nama menjadi Desa Lotta.
"Yang di tengah milik Wongkar Sajow salah satu pendiri Desa Kali Tua yang kemudian menjadi Lotta. Di sebelah kiri merupakan makam salah satu pemimpin yaitu Masairi Parengkuan," kata lelaki yang akrab dipanggil Tonaas Rinto ini, Rabu (26/11).
Total Waruga yang berada di Lotta sebanyak 16 buah dan dikelilingi pagar alam pohon tawaang sebagai tanaman pembatas adat 'Tanah Toar Lumimuut' sebutan lain tanah Minahasa.
Di tengah-tengah lokasi yang mulai tertutup rumput liar ini terdapat sebuah batu pipih tertancap dalam tanah yang disebut batu 'Marengke' sebagai tempat melakukan ritual tarian kemenangan pada waktu perang dan panen.
'Marengke' atau 'marengke-rengke' dalam Bahasa Indonesia berarti tertatih-tatih. "Gaya orang-orang tua dulu pada saat menari ya seperti itu," tutur Tonaas.
Di bagian belakang, terdapat batu pinanian yang menandakan berdirinya sebuah Wanua atau kampung. Terlihat sisa-sisa bekas ritual budaya di tempat yang dipagari bambu ini. Bentuk batu pinanian pipih dan tertancap dalam tanah seperti batu Marengke.
Sayangnya, sebagian besar waruga yang berada di lokasi ini telah dirusak tangan-tangan jahil yang menjarah isi makam. Benda-benda antik dan pusaka yang turut dimakamkan bersama jasad leluhur telah diambil untuk keperluan pribadi penjarah.
Beberapa bagian badan dan penutup waruga terlihat telah dipugar dan tak sesuai kondisi aslinya. Pemugaran sendiri dilakukan sebagai upaya penyelamatan situs.
Yang menarik dari tradisi waruga adalah cara memakamkan jenazah yang tidak lazim, yaitu jasad dalam waruga diringkuk dengan kaki dilipat mirip bayi dalam kandungan. Filosofinya, posisi manusia saat akan dilahirkan sama dengan pada saat meninggal dunia.
Meski demikian, tak semua leluhur masyarakat Minahasa dikuburkan dalam waruga. Hanya tokoh-tokoh berpengaruh dan dinilai memiliki posisi penting yang dikuburkan dengan cara seperti itu. Itulah sebabnya, waruga tak banyak dijumpai di setiap daerah di tanah Minahasa.
Pada setiap badan dan tutup waruga yang menjulang ke atas terdapat lukisan-lukisan manusia, hewan dan tanaman. Motif lukisan ini tak sama di setiap waruga, menandakan tingkatan dalam masyarakat para leluhur yang berbeda-beda.
Kondisi situs sendiri terlihat memprihatinkan dan kurang terawat. Sepertinya pemerintah tak memperhatikan warisan budaya tersebut.