Mengukur Efektivitas Nyamuk Wolbachia Tekan Kasus DBD
Kemenkes menebar jentik nyamuk mengandung bakteri wolbachia di lima kota di Indonesia.
Kemenkes menjelaskan, inovasi nyamuk wolbachia sudah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Mengukur Efektivitas Nyamuk Wolbachia Tekan Kasus DBD
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menebar jentik nyamuk mengandung bakteri wolbachia di lima kota di Indonesia.
Kota tersebut yaitu Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang, dan Kota Bontang. Langkah ini diyakini bisa menekan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penebaran nyamuk wolbachia ini berdasarkan Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.
Nadia menjelaskan, inovasi nyamuk wolbachia sudah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Hasilnya, nyamuk buatan Bill Gates itu mampu menekan kasus DBD hingga 77%.
“Selain itu, menurunkan kebutuhan rawat inap pasien dengue di rumah sakit sebesar 86%,”
jelas Nadia, melalui keterangan tertulis, Senin (20/11).
merdeka.com
Selain di Indonesia, nyamuk wolbachia juga sudah diuji di sembilan negara yakni Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka. Hasilnya pun sama, bisa menekan kejadian demam berdarah.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, nyamuk wolbachia juga sudah diuji di Singapura sejak 2016. Namun hingga September 2023, kasus DBD belum bisa ditekan.
Tjandra menyebut, salah satu media Singapura melaporkan penebaran nyamuk wolbachia belum terlihat berdampak. Pada 2022, masih ada 32.173 kasus DBD di negara tersebut, kedua tertinggi sesudah 2020 dengan 35.266 kasus.
Pada awal September 2023, Badan Lingkungan Hidup (National Environmental Agency-NEA) Singapura memberikan peringatan kepada warganya soal kemungkinan kasus DBD meningkat lagi.
Namun, di beberapa daerah penelitian wolbachia di Singapura seperti Tampines, Yishun dan Choa Chu Kang, populasi nyamuk Aedes aegypti turun sampai 98 persen. Sementara kasus DBD turun sampai 88 persen. Hal itu disampaikan anggota Parlemen Baey Yam Ken.
Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Adi Utarini atau akrab disapa Uut mengungkapkan cara kerja nyamuk wolbachia untuk melumpuhkan kasus DBD di Indonesia. Dia merujuk pada penelitian yang dilakukan di Yogyakarta.
Saat diteliti, nyamuk wolbachia disebarkan menggunakan metode ‘penggantian’. Di mana baik nyamuk jantan dan betina wolbachia dilepaskan ke populasi alami.
Tujuannya agar nyamuk betina kawin dengan nyamuk setempat dan menghasilkan anak-anak nyamuk yang mengandung wolbachia. Pada akhirnya, hampir seluruh nyamuk di populasi alami akan memiliki wolbachia.
Wolbachia berperan dalam memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Nyamuk yang mengandung wolbachia, tidak mampu lagi untuk menularkan virus dengue ketika nyamuk tersebut menghisap darah orang yang terinfeksi virus dengue.
Ketika wolbachia terdapat dalam telur nyamuk, maka bakteri ini akan diturunkan dari satu generasi nyamuk ke generasi berikutnya. Akibatnya, dampak perlindungan wolbachia terhadap penularan dengue bersifat berkelanjutan (sustainable).
Menurut Uut, pendekatan wolbachia telah terbukti mengurangi secara signifikan kejadian penyakit demam berdarah dan kebutuhan rawat inap bagi penderita penyakit tersebut.
Penurunan ini berdampak pada penghematan biaya yang signifikan dalam pengendalian dengue.
“Pendekatan ini sangat efektif dalam pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk di wilayah perkotaan besar yang berpenduduk padat dan dengan tingkat insidensi dengue yang tinggi,”
jelas Uut.
merdeka.com
Tak Timbulkan Penyakit Baru
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadi Tarmizi mengatakan, penebaran nyamuk wolbachia tidak akan menimbulkan penyakit baru.
"Wolbachia tidak menimbulkan penyakit baru yang berbahaya bagi kesehatan, sudah ada penelitian dan kajian risiko," kata Nadia.