Menkes Bakal Atur Jam Kerja Dokter PPDS
Budi mengatakan, pengaturan jam kerja akan dilakukan lewat kerja sama formal antara rumah sakit di bawah kementerian dan fakultas kedokteran.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku akan mengatur jam kerja peserta didik dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di rumah sakit (RS) untuk mengantisipasi perundungan.
Budi mengatakan, pengaturan jam kerja akan dilakukan lewat kerja sama formal antara rumah sakit di bawah kementerian dan fakultas kedokteran.
"Supaya kita juga bisa bantu mengatur jam kerja dokternya. Karena dokternya ini kan sebelumnya bukan pegawai kita, jadi susah ngaturnya," katanya di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/9).
Jika telah ada kesepakatan dengan fakultas kedokteran, pihaknya melalui rumah sakit di bawah kementerian bisa membuat kontrak dengan seluruh peserta PPDS agar bisa mengikuti aturan.
"Tujuannya agar ada berapa kali, kita kan kerja ada batas ya, seminggu berapa kali, kalau ada lembur besoknya bisa datang siang, jadi tidak ada kerja berlebihan," ujarnya.
Rumah sakit di bawah kementerian yang diarahkan menjalin kerja sama dengan fakultas kedokteran, katanya, diminta dijadikan satu agar kebijakan bisa seragam.
"Kalau dulu sendiri-sendiri, sekarang jadi satu semua aja, biar aturannya sama," ucapnya, dikutip dari Antara.
Terkait dengan perundungan dalam PPDS, Budi mengapresiasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang langsung mengambil tindakan ketika menemukan kasus itu.
"Bagus itu Unpad, sudah ketahuan, tidak usah disuruh langsung bisa disanksi, itu hebat," ucapnya.
Sementara Dekan FK Unpad, Yudi Mulyana Hidayat mengatakan, terkait dengan perundungan pada PPDS pihaknya tidak hanya memberikan sanksi, namun juga mencari akar masalah perilaku yang menjadikan kebiasaan tersebut di lingkungan kedokteran.
"Kalau dulu itu tidak berbau finansial. Misal angkatan saya misal datang terlambat hukumannya suruh buat status pasien 10 orang, tapi itu positif kan. Nah karenanya kita harus cari penyebabnya dan cari solusinya, kita harus berantas," ujar dia.
Sebagai langkah konkret, pihaknya bersama RS, khususnya Rumah Sakit Umum Pusat dr Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, sudah mengidentifikasi masalah dan berencana melakukan berbagai hal, seperti pemberian insentif pada peserta PPDS.
"Karena dokter residen itu sekolah tapi dia juga bekerja melayani pasien nah itu kan harus diapresiasi, mungkin mereka akan diberikan insentif, kan mereka tidak dapat uang dari mana-mana sedangkan dia di (RS) Hasan Sadikin menjalankan tugas, makan minum, dan sebagainya keluar segala macam," katanya.
Selanjutnya, ucapnya, pengaturan jam kerja agar lebih efisien, efektif, dan manusiawi dalam bekerja atau menjalani pendidikan.
"Misal mereka jaga malam ini, itu diharuskan istirahat besoknya dan lain sebagainya. Jadi itu yang kita kerjakan yang mampu kita selesaikan," ujarnya.
Selain itu, dibentuk Komisi Disiplin, Etika, dan Anti Kekerasan Fakultas Kedokteran dan RSHS sebagai tim penyuluh, pusat aduan, dan penyelidik dugaan perundungan.
"Kami juga melakukan pendampingan, termasuk hukum pada korban. Kalau pelaku walau dia tercatatnya bagian dari kampus kami lepas tangan, siapa suruh mem-bully (melakukan perundungan) kan," katanya.
Sejauh ini, dalam PPDS di bawah Unpad terungkap dugaan perundungan di dua departemen, yakni bedah saraf dan urologi. Dalam kasus di departemen bedah sarat, 10 orang diberi sanksi dan satu dosen masih menunggu sanksi dijatuhkan, sedangkan di departemen urologi tercatat tujuh pelaku diberi sanksi dengan surat peringatan oleh fakultas.