Menkum HAM wacanakan pulau terluar jadi penjara koruptor dan narkoba
Wacana itu timbul sebagai salah satu upaya untuk merespon paket reformasi hukum yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Antara lain berisi program pengurangan penjara yang terlalu penuh atau 'overcrowded' penjara.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mewacanakan untuk menjadikan pulau-pulau terluar sebagai penjara berkeamanan tinggi. Penjara tersebut rencananya digunakan sebagai tempat bagi teroris, bandar narkoba dan pelaku tindak pidana korupsi.
"Ada keinginan untuk mebuat lapas khusus di pulau-pulau terluar untuk menjadi lapas 'super maximum security' seperti bagi bandar narkoba, teroris termasuk koruptor-koruptor yang hukumannya besar," kata Yasonna seperti dilansir Antara, Kamis (13/10).
Wacana itu timbul sebagai salah satu upaya untuk merespon paket reformasi hukum yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Antara lain berisi program pengurangan penjara yang terlalu penuh atau 'overcrowded' penjara.
"Upaya pengurangan kapasitas lapas itu sudah kita lakukan misalnya kita akan melakukan redistribusi ke lapas-lapas yang lebih jarang kemudian penambahan kapasitas. Kami mendapat tambahan anggaran yang lumayan tahun ini untuk bisa menambah 5000-an 'space' bagi warga binaan," jelas Yasonna.
Sedangkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan K Dusak menyatakan, saat ini Ditjen Pemasyarakata baru akan membangun lembaga pemasyarakatan (lapas) berkeamanan maksimal di Nusakambangan.
"Kami sedang membangun lapas 'maximum security di Nusakambangan, kapasitasnya sekitar 500 orang dan rencananya penempatan mereka yang tergolong 'high risk'. Mereka itu yang paling lama hukumannya tapi cenderung membahayakan diri sendiri dan lingkungan sehingga bisa membahayakan diri sendiri, sesama napi, petugas dan juga organisasi," kata Dusak.
Sedangkan dalam jangka panjang, di setiap lapas akan ada blok high risk untuk menempatkan orang-orang yang tergolong high risk tersebut yaitu bandar narkoba, teroris dan koruptor.
Sedangkan untuk mengatasi kelebihan muatan di lapas, saat ini tim Kemenkum HAM masih menggodok peraturan restorative justice.
"Sehingga orang tidak hanya bermuara pada pidana kurungan, tapi bisa juga pidana denda, sosial dan sebagainya. Kalau anggaran yang diberikan tahun ini paling menambah sekitar 5000 orang, tapi kelebihan kita kan sekarang ada 60 ribu orang lebih, masih banyak yang 'overcrowded'," tambah Dusak.
Direktorat Jenderal Pemasyaraktan mencatat per 25 April 2016 terdapat 187.749 orang warga binaan yang 40 persen dari jumlah tersebut yaitu 81.360 orang berasal dari kasus narkotika. Selanjutnya napi kasus pencurian (29.552 orang) dan perlidungan anak (17.827 orang).