Minta maaf, tokoh agama Papua sesalkan pembakaran musala di Tolikara
"Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah," kata Neles.
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Kota Jayapura, Pater Neles Tebay yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) menyesalkan peristiwa pembakaran tempat ibadah di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Jumat pagi.
"Kami menyesalkan atas peristiwa pembakaran tempat ibadah, 70 rumah dan kios di Tolikara, yang terjadi pada perayaan Idul Fitri," kata Neles Tebay di Kota Jayapura, Jumat (17/07) malam.
Seperti diberitakan Antara, tindakan pembakaran seperti itu, baik dilakukan secara sengaja atau tanpa direncanakan, tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh setiap orang yang beriman.
"Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah," katanya.
Menurut dia, Tradisi atau budaya mengajarkan bahwa orang Papua tidak boleh mengganggu tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral atau suci menurut kepercayaan budaya setempat.
Tempat-tempat suci dalam budaya adalah tempat-tempat yang, menurut keyakinan orang setempat, dihuni oleh roh-roh.
Apabila mengganggu tempat suci itu, menurut keyakinan orang Papua maka akan ada konsekuensi dalam hidup keluarga dari orang yang mengganggu tempat tersebut.
"Konsekuensinya bisa saja para pengganggu jatuh sakit atau salah satu anggota keluarganya meninggal dunia tanpa sakit terlebih dahulu atau terjadi musibah kelaparan," katanya.
Pater mengatakan orang Papua dibina untuk menghormati tempat keramat atau sakral dalam budayanya.
Ketika agama-agama besar seperti Kristen dan Islam masuk ke Tanah Papua, tempat ibadah dari agama-agama ini seperti gereja dan masjid, dipandang sebagai tempat keramat, sakral atau suci.
"Oleh karena itu orang Papua, entah apapun agamanya, selama ini tidak pernah mengganggu, apalagi membakar entah gereja, entah masjid. Daun rumput selembar saja tidak pernah diganggu dan dipetik dari halaman gereja atau masjid," katanya.
Kejadian pembakaran mushola di Tolikara, kata dia, merupakan peristiwa pertama kali dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar.
"Orang Papua tidak pernah membakar tempat ibadah selama ini, kecuali yang baru terjadi di Tolikara ini. Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa yang melanggar norma adat ini," katanya.
Ia mengakui bahwa peristiwa pembakaran tempat ibadah itu, telah mencederai upaya masyarakat sipil Papua bersama semua pimpinan agama untuk mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai.
Peristiwa itu mengingatkan bahwa kampanye Papua Tanah Damai masih terbatas hanya pada tingkat para pimpinan agama-agama. Konsep Papua Tanah Damai ternyata masih harus dimasyarakatkan hingga di tingkat akar rumput.
"Rakyat perlu dilibatkan dalam diskusi, refleksi, dan bekerja sama untuk membangun Papua Tanah Damai, sehingga mereka berperanserta dalam mengupayakan dan memelihara perdamaian di tempat masing-masing," katanya.
Para bupati di semua kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat perlu memfasilitasi diskusi dan dialog internal Papua tentang slogan Papua Tanah Damai agar semua pihak berpartisipasi dalam memelihara slogan tersebut.
"Tidak ada satu pun pihak yang memuji atas tindakan pembakaran tempat ibadah ini. Tetapi juga tidak perlu langsung menuduh kelompok lain sebagai pelaku pembakaran tanpa didasarkan atas investigasi yang kredibel. Kami memohon semua pihak untuk menahan diri dan tidak memanasi situasi," katanya.
Sebagai salah satu tokoh agama, Neles Tebay mengatakan ada baiknya mendorong polisi untuk melakukan investigasi secepatnya bukan hanya untuk menemukan para pelaku pembakaran tetapi juga menemukan faktor penyebab utama yang memicu pembakaran itu.
"Dengan mengetahui faktor penyebabnya, kita bisa mencegah agar hal yang tidak terulang lagi di masa depan. Kami mendorong para pimpinan agama di seluruh Tanah Papua untuk secara bersama memelihara perdamaian di bumi Cenderawasih," katanya.