Motinggo Busye, sastrawan produktif dikecam karena novel erotis
Motinggo Busye, sastrawan era 1960/1970-an mengajak penikmat sastra membebaskan imajinasinya membayangkan hubungan intim
"... Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit..." (Busye, 1970: 98—99)
Begitulah cara Motinggo Busye, penulis sekaligus sastrawan era 1960/1970-an mengajak penikmat sastra membebaskan pikiran dan imajinasinya membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan melalui karyanya yang berjudul 'Kutemui Dia' yang tenar pada 1970. Melalui barisan kata-kata yang terstruktur rapi, Busye mencoba mendeskripsikan sebuah hubungan intim tanpa bermaksud mengedepankan unsur pornografi.
Dalam karyanya itu, Busye memilih tidak menggambarkan secara eksplisit bagaimana cara berhubungan intim antara lelaki dan perempuan. Dia juga memilih tidak menampilkan kata-kata yang langsung mengarah pada bagian vital atau alat kelamin laki-laki dan perempuan. Tapi, karyanya itu sudah terlanjur dicap sebagai stensilan (istilah buku porno pada zaman itu).
Penilaian atas beberapa karya seniman berdarah Minang yang dicap porno itu, mengundang Yuki Anggia Putri untuk menyelami kembali karya Busye. "Ketika itu, Motinggo Busye, penulis populer paling produktif, mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama kritikus sastra, mengenai nilai seni karya-karyanya. karya-karyanya dianggap porno dan dilarang peredarannya oleh pemerintah karena dinilai dapat merusak moral masyarakat dan mendorong perbuatan asusila," tulis Yuki, mahasiswa lulusan Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia di blog miliknya yukianggiaputri.blogspot.com yang dikutip merdeka.com, Sabtu (20/10).
Menurut Yuki, oleh beberapa pihak, kata-kata yang digunakan Motinggo dalam karyanya, masih dipandang tabu dan mengandung unsur porno. Yuki memandang, pemilihan kata dalam karya Busye yang menggambarkan hubungan intim, tidak menjerumuskan pembaca pada sebuah realitas yang memonopoli kebebasan akal dalam berkreasi. "Melihat karya sastra sebagai sumber apresiasi seni," katanya.
Dia juga melihat kemahiran Busye mengungkapkan persenggamaan dengan bahasa yang metaforis dan konotatif. Semisal dalam kata: sedang dalam kenikmatan, terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi, bagian leher gadis itu, sebuah lipatan kaki yang menggerumul. "Walaupun terasa hiperbola, namun ungkapan tersebut berusaha membahasakan hubungan intim manusia dengan baik," tambahnya.
Yuki mencoba membandingkan antara cara Busye dan Ayu Utami dalam menggambarkan hubungan intim melalui karyanya masing-masing. Menurutnya, karya Ayu Utami justru lebih berani dan eksplisit membahasakan senggama dengan nyata dan jelas. Serta tanpa ragu menulis alat kelamin laki-laki dan perempuan untuk melengkapi gambaran mengenai hubungan intim.
Menurutnya, perbandingan penulisan seksualitas tersebut tidak lepas dari zaman yang melingkupi mereka. "Busye dengan masa populer '70-an yang penuh romantika dan sentimentalitas, dan Utami dengan masa populer kini yang menempatkan seksualitas sebagai upaya pembebasan diri, membahasakan tubuh," jelasnya.
Motinggo Busye lahir dengan nama asli Bustami Djalid, dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub. Mantan redaktur kepala Penerbitan Nusantara periode 1961-1964 ini terbilang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi.
Antara lain, Malam Jahanam, Badai Sampai Sore, Tidak Menyerah, Hari Ini Tak Ada Cinta, Perempuan Itu Bernama Barabah, Dosa Kita Semua, Dia Musuh Keluarga, Sanu, Infita Kembar, Madu Prahara, serta ratusan karya lainnya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, DC, Amerika Serikat.
Busye mulai meramaikan dunia sastra Indonesia dengan puisinya Malam Putih yang dimuat dalam Siasat Tahun VIII Nomor 378/26, tahun 1953. Karya sastranya juga pernah dipentaskan di Universitas Pasadena, Amerika Serikat. Motinggo juga pernah memenangkan hadiah majalah Sastra tahun 1962 untuk cerpennya berjudul "Nasehat untuk Anakku" dan karyanya yang berjudul "Malam Pengantin di Bukit Kera" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cekoslovakia.
Selain dialihbahasakan ke dalam bahasa Cekoslovakia, karya-karyanya juga pernah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa. Mulai dari Bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang. Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990).
Banyak kritikus sastra yang mengamati perkembangan karya Busye. Karya-karyanya dipandang lebih banyak mengungkap tema-tema porno, tersirat atau pun vulgar. "Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes," ujar Busye seperti diikuti dari Harian Terbit, 17 September 1994.
Sekitar tahun 1984-199, Busye mengubah pandangannya. Pertama karena lesunya dunia perfilman nasional. Kedua, kritik keras dari anaknya yang disekolahkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Busye selalu diingatkan untuk tidak membuat karya sastra atau film yang lebih banyak menonjolkan seksualitas. Menurut anaknya, masalah seksualitas atau pornografi itu dapat meracuni generasi muda bangsa.
Dari kritikan itulah Busye membuat novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984 dan kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985). Novel tersebut bagaikan penanda perubahan pandangan Motinggo dari hal-hal yang berbau seksualitas dan pornografi ke hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual imajinatif, serta absurditas.
Buah pikirannya yang dituangkan dalam karya seni membuahkan hasil. Busye mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 melalui cerpennya berjudul 'Bangku Batu'. Cerpennya berjudul 'Lonceng' juga masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000. Karya lainnya, cerpen berjudul 'Dua Tengkorak Kepala' ditahbiskan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 1999.
Banyak sastrawan dan kritikus yang berkomentar tentang Busye. Sebut saja Sutardji Calzoum Bachri yang mengatakan bahwa Motinggo Busye sebagai sastrawan Master of Style. Apresiasi atas karya Busye juga datang dari sastrawan WS Rendra. "Komitmennya ini memunculkan kekaguman dari seniman lain," ujar Rendra.
-
Apa yang dimaksud dengan Unsur Ekstrinsik Novel? Unsur ekstrinsik dari sebuah novel mengacu pada elemen-elemen yang ada di luar konten tekstual cerita itu sendiri. Unsur ekstrinsik dalam novel merujuk pada elemen-elemen di luar teks itu sendiri yang memengaruhi pemahaman pembaca terhadap karya sastra tersebut.
-
Siapa yang memengaruhi Unsur Ekstrinsik Novel? Elemen-elemen dalam unsur ekstrinsik di antaranya latar belakang penulis, konteks sejarah dan budaya di mana novel tersebut ditulis, dan dampak dari novel tersebut terhadap masyarakat.
-
Bagaimana cara memahami Unsur Ekstrinsik Novel? Dalam menganalisis unsur ekstrinsik sebuah novel, kita dapat memperhatikan konteks sejarah, budaya, dan sosial pada saat karya itu ditulis.
-
Apa itu Erotomania? Erotomania adalah kondisi gangguan kesehatan mental yang sangat langka. Penderita erotomania memiliki keyakinan yang kuat bahwa ada orang lain yang sangat mencintainya, meskipun tidak ada bukti atau tanda-tanda yang mendukung keyakinan ini.
-
Apa yang ditawarkan oleh novel komedi kepada para pembacanya? Novel komedi membawa pembaca ke dunia menghibur yang penuh kelucuan. Bahasa yang sederhana, alur cerita menarik, dan karakter-karakter lucu menciptakan pengalaman membaca yang menyegarkan.
-
Bagaimana cara novel 'Teman Tapi Menikah' menghadirkan sisi humor dan kesenangan dalam ceritanya? ‘Teman Tapi Menikah’ adalah sebuah novel menarik yang dihasilkan dari kolaborasi penulisan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion. Keceriaan novel ini datang dari kisah nyata penulisnya yang juga merupakan pasangan suami-istri.
Bahkan, kritikus sastra Indonesia dari negeri Belanda, Prof. Dr. Andreas Teeuw mengakui bakat sastra, seni, dan potensi artristik Busye.