Museum Pustaka Loka, napak tilas pembunuhan Ahmad Yani
Museum itu selain mengenang meninggalnya Jenderal Ahmad Yani juga dirancang untuk rekonstruksi pembunuhannya.
Halaman depan rumah yang berada pojok Jalan Lembang No 58 Menteng, Jakarta Pusat, itu tampak asri oleh pepohonan dan bunga-bunga. Aura kemiliteran begitu terasa di atas tanah 1500 meter persegi itu.
Di halaman depan berdiri patung dengan pakaian militer lengkap dengan menghadap Jalan Latuharhari. Itulah suasana Museum Sasmita Loka Ahmad Yani pada Rabu pagi kemarin.
Saat merdeka.com, Jumat (28/9) menyambangi bekas rumah dinas Jenderal Angkatan Darat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih dan belum ada satu pengunjung pun yang datang.
Meski aroma militernya begitu kuat. Tidak sulit memasuki rumah itu. Cukup hanya dengan melapor kepada petugas untuk mengisi buku tamu, kemudian pemandu siap mengantar ke dalam museum.
Menurut Gilang, pemandu museum Sasmita Loka Ahmad Yani, akhir pekan September biasa pengunjung meningkat minimal 10 orang. Jadwal paling ramai pengunjung pada masa liburan semesteran sekolah yang datang dalam satu rombongan. "Museum buka setiap hari Selasa sampai Minggu sejak pukul 08.00-14.00, selebihnya tutup," kata Gilang.
Museum di bawah naungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, ini tidak mengenakan pungutan kepada pengunjung. Museum ini juga menyediakan pemandu. Meski hari itu merdeka.com hanya sendiri yang berkunjung, Gilang, pemandu museum itu sudah siap memandu ke dalam museum.
Dari penjelasan Gilang, museum itu selain mengenang meninggalnya Jenderal Ahmad Yani juga dirancang untuk rekonstruksi pembunuhannya pada pagi buta 1 Oktober 1965. Rute perjalanan lintas ruangan dalam museum itu itu seperti napak tilas kejadian saat itu.
Sebelum menuju dalam museum, Gilang menunjukkan mobil sedan biru muda merek Chevrolet, dengan nomor Polisi B 66 M, mobil yang sering digunakan Jenderal Ahmad Yani yang berada terpisah dari ruang museum. Layaknya napak tilas kejadian, Gilang, kemudian mengajak merdeka.com memasuki museum melalui pintu samping.
Dari penjelasan Gilang, lewat pintu itulah tentara menggedor pintu untuk meminta Jenderal Ahmad Yani datang ke Istana Negara langsung atas perintah Presiden Soekarno. Pintu depan rumah dalam kondisi terkunci.
Setelah masuk dengan melepas alas kaki, pengunjung langsung melihat ruangan berbentuk memanjang yang dipenuhi oleh foto-foto dokumentasi hitam putih dan kursi tamu. Dalam papan dokumentasi juga terdapat foto berwarna yang diambil dari adegan film Penghianatan G 30 S/PKI, besutan Arifin C Noer.
"Di sinilah empat tentara itu bertemu dan berdialog dengan Bapak Ahmad Yani setelah dibangunkan anaknya," ujar Gilang sambil menunjukkan foto-foto itu.
Kemudian Gilang mengajak melewati dapur dan kamar mandi yang bisa langsung menuju ruang keluarga dengan melewati lorong selebar sekitar satu meter lebih. Di lorong ujung terdapat pintu yang bagian atasnya terdapat kaca sebagai pembatas ruang keluarga.
Dari penjelasan Gilang, setelah terjadi dialog di ruang dokumentasi, Ahmad Yani meminta untuk cuci muka dan ganti baju sebelum bertemu presiden, sambil berjalan menuju lorong menuju ruang keluarga. Namun, tentara yang menjemput meminta agar Ahmad Yani tidak perlu ganti baju, sambil mengikuti di belakangnya. Mendengar hal itu, menurut Gilang, Jenderal Ahmad Yani tersinggung mendengar hal itu.
Saat sudah sampai pintu dan tahu diikuti, Jenderal Ahmad Yani langsung berbalik arah menampar salah satu prajurit itu. "Setelah menampar, Bapak akan kembali masuk, namun tentara itu langsung memberondong Jenderal Ahmad Yani dengan tembakan dan langsung jatuh di sini," ujar Gilang menunjuk lokasi tempat jatuh dan meninggalnya Ahmad Yani dan menunjukkan kaca pintu yang bolong akibat peluru.
Kaca pintu bekas peluru masih utuh dan dilapisi kaca. Menurut Gilang, hal itu dilakukan untuk menjaga keotentikan sejarah saat kejadian berlangsung. Sedangkan pada bagian tempat jatuhnya itu diberi tanda khusus dengan dikelilingi oleh kayu dengan tinggi sekitar setengah meter sebanyak empat buah yang saling terhubung dengan rantai. Sedangkan lantai lokasi jatuhnya Jenderal Ahmad Yani setelah ditembak dibuat dalam bentuk prasasti yang bertuliskan,
"Di sinilah gugurnya Pahlawan Revolusi Djenderal TNI A. Yani pada Tanggal 1 Oktober 1965. Djam 04.35. Djakarta, 1 Januari 1970."
Setelah itu Gilang menunjukkan mini bar yang dekat dengan pintu tempat lokasi kejadian. Kemudian meja makan keluarga. Di atas tembok terpajang foto pahlawan revolusi lainnya dalam bingkai kaca, Sutoyo Siswomiharjo, Donald Ignatius Panjaitan, Pierre Andreas Tendean, Katamso Dharmo Kusumo, Sugiono Mangun Wiyoto, R Soeprapto, Suwondo Parman, Haryono Mas Tirto Darmo, dan Karel Satsuit Tubun.
Kemudian ruang tamu, di situ terdapat lukisan dari Umar Wirahadi Kusuma yang menggambarkan penculikan Ahmad Yani. Kemudian ruang ajudan yang menyatu dengan ruang tunggu tamu, dan ruang santai yang menghadap taman. Dalam ruang tunggu itu terdapat koleksi macan Sumatera yang sudah diawetkan dan ditaruh dalam lemari kaca. Kemudian koleksi buku.
Baru pada bagian belakang dengan melewati ruang keluarga, terdapat dua kamar tidur putra-putri Ahmad Yani dan satu kamar tidur Ahmad Yani dan Istrinya. "Semua yang ada di sini asli, tidak ada yang diganti, kecuali lampu atau keran yang rusak," ujar Gilang menjelaskan.
Dalam ruang kamar tidur Ahmad Yani, terdapat lemari kaca yang diisi dengan senapan Thompon yang digunakan menembak Ahmad Yani. Pada lemari kaca lainnya terdapat bintang lencana penghargaan dan dompet yang berisi uang Rp 120.000, gaji Ahmad Yani yang belum dibelanjakan.
Sekitar pukul 12.00 lebih seorang tamu datang memasuki ruangan museum. Pria itu adalah Danu Wibowo, pengurus Komunitas Historia Jakarta. Dia datang berkunjung sekaligus untuk mengurus izin kunjungan napak tilas penculikan yang diagendakan komunitasnya pada Minggu 1 Oktober besok.
"Sementara ini ada sekitar 120 peserta yang ikut napak tilas dengan jalan kaki dari rumah Ahmad Yani sampai rumah Abdul Haris Nasution yang berada di Jalan Teuku Umar No 40," kata Danu kepada merdeka.com siang itu.
Menurut Danu, zaman Orde Baru sudah berakhir. Demikian juga fakta-fakta baru atas kejadian September 1965 itu sudah berkembang. Apalagi pesertanya rata-rata masih muda yang memiliki kemampuan mencari informasi sendiri. Danu mengakui, kasus September 1965 hanya diketahui melalui film G 30 S/PKI.
"Selain informasi dari pemandu museum, kami juga akan melengkapi informasi sejarah yang aktual terhadap peristiwa itu kepada peserta," ujar Danu lebih lanjut.