Nakalnya Shodancho Ahmad Yani yang hobi curi roti
Yani juga hobi membolos dan loncat pagar untuk kabur. Tapi tetap jadi salah satu lulusan terbaik tentara PETA.
Jenderal Ahmad Yani merupakan salah satu perwira didikan Pembela Tanah Air (PETA). Banyak kisah menarik selama Yani menjalani pendidikan PETA.
Ahmad Yani muda pernah mengikuti sekolah bintara topografi tentara Belanda. Setelah Jepang datang, tentara Belanda di Indonesia dibubarkan. Yani pun menganggur, tak punya kerja.
Kesempatan berkarir di militer kembali datang saat tentara Jepang membuka pendaftaran tentara Pembela Tanah Air (PETA) tahun 1943. PETA adalah pasukan pertahanan yang semua anggotanya berasal dari pemuda Indonesia.
Yani mendaftar sebagai Shodancho, komandan peleton dengan pangkat letnan. Dia berkawan akrab dengan Sarwo Edhie Wibowo saat pendidikan PETA di Bogor.
Yani muda dikenal nakal selama mengikuti pendidikan. Tapi prestasinya pun baik hingga sering dijadikan asisten pelatih. Kisah itu dituliskan Amelia Yani dalam buku 'Ahmad Yani Tumbal Revolusi' terbitan Galang Press tahun 2007.
Salah satu kenakalan Yani adalah mencuri roti dari dapur. Latihan PETA sangat berat, sementara makanan yang diberikan sangat sedikit. Jika hari sudah malam, Yani akan beraksi dengan galah panjang untuk menjangkau wadah roti di ujung dapur.
Berkali-kali Yani beraksi dan tak pernah ketahuan.
Kenakalan lain, Yani hobi membolos dan loncat pagar untuk menemui kekasihnya. Teman-teman sesama calon Shodancho tak protes karena setiap pulang Yani akan membawakan singkong goreng ke asrama.
Cerita lain adalah soal kantuk yang tak tertahankan. Calon Shodancho PETA digembleng dengan keras, jangan harap punya waktu istirahat dan tidur yang cukup.
Nah, Yani dan kawan-kawannya selalu mencuri-curi waktu tidur. Satu orang bergiliran menjaga, kalau-kalau ada pengawas Jepang datang. Tugas orang yang berjaga itu membangunkan teman-temannya jika ada pengawas.
Suatu hari tiba giliran Yani berjaga. Tapi saat pengawas Jepang lewat rupanya Yani tak membangunkan rekan-rekannya. Mereka pun kena hukuman berat. Saling menempeleng satu sama lain di bawah perintah pengawas Jepang.
Tentu saja rekan-rekannya kesal. "Siapa sih yang harusnya jaga tadi?" Kata mereka kesal.
Yani mengaku. "Aku, tapi turu (saya, tapi ketiduran juga)."
Yani pun kena omelan kawan-kawannya.
Setelah menjalani pendidikan selama beberapa bulan, Yani akhirnya dilantik juga sebagai Shodancho di Lapangan Ikada Jakarta. Rupanya walau nakal, Yani tetap dianggap berprestasi. Dia mendapatkan pedang samurai istimewa, sebagai salah satu yang terbaik.
Yani meneruskan karirnya dalam bidang militer. Ketika Indonesia merdeka, karir Yani terus melejit. Dia menduduki posisi puncak sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Berondongan peluru pasukan G30S mengakhiri hidup Yani tanggal 1 Oktober 1965 dini hari.