Nekat serbu markas Jepang, Slamet Riyadi diberi pangkat mayor
Dengan keberaniannya, Slamet Riyadi langsung menjadi perwira termuda di usianya ke-19. Ini kisahnya.
Pembacaan naskah proklamasi menumbuhkan kegembiraan bagi rakyat Indonesia. Setelah terbelenggu oleh penjajahan selama ratusan tahun, gema kemerdekaan mulai membahana hampir di seluruh penjuru, termasuk rakyat Solo.
Para pemimpin dan tokoh masyarakat mulai memberanikan diri untuk mengambil alih kekuasaan Kekaisaran Jepang atas Indonesia. Langkah persuasif dilakukan, tindakan ini membuat penguasa Jepang luluh dan rela menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Indonesia yang masih sangat muda.
Di Solo, penyerahan kedaulatan berlangsung secara damai. Pemerintah Jepang yang diwakili Watanabe menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia. Upacara serah terima berlangsung sangat sederhana, tidak ada penandatangan dokumen, atau acara protokoler. Yang ada hanya saling bersalaman.
Serah terima tersebut dipenuhi sejumlah komandan polisi rahasia (Kempeitai) Jepang yang beroperasi di Solo. Mereka dengan sukarela menyerahkan senjatanya masing-masing kepada para pejuang. Tapi tidak semua, Kapten Sato menolak menyerahkan gudang senjata yang dijaganya kepada rakyat Indonesia.
"Saya hanya bersedia menyerah setelah mendengar langsung perintah Tenno Heika," tegas Kapten Sato, seperti dikutip dari buku 'Ign Slamet Riyadi: Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS', karya Julius Pour terbitan Gramedia tahun 2008.
Meski begitu, rakyat tak menyerah. Mereka tetap melakukan pendekatan kepada Kapten Sato untuk menyerahkan persenjataan yang dimilikinya. Tapi, seluruh upaya tetap gagal, Sato tetap bergeming dengan pendiriannya.
Kerasnya sikap yang ditunjukan Sato membuat rakyat Solo kesal. Tepat pada 13 Oktober 1945, para pemuda mulai mengepung markas Sato. Meski dijaga cukup ketat, namun mereka tak gentar menghadapi peluru Jepang.
Tanpa dikomando, para pemuda langsung menyerbu markas tersebut. Tanpa ada komando, ribuan massa mulai memasuki markas dari tangan Jepang. Aksi para pemuda ini disaksikan langsung oleh Benny Moerdani saat usianya masih 13 tahun, kelak dia bakal menjadi jenderal berpengaruh selama Orde Baru berkuasa.
"Saya sendiri tidak tahu siapa yang memberikan perintah untuk menyerbu. Mungkin saja memang keluar dengan spontan. Tetapi yang pasti, markas kempeitai langsung diserbu massa," kenang Benny.
Dengan penuh semangat, Slamet Riyadi langsung menyerbu masuk ke dalam markas. Tembakan pertama dari tempat persembunyiannya telah menewaskan seorang serdadu Jepang.
"Slamet Riyadi didampingi Roedjito menyerang dari arah barat markas. Dari tempat persembunyian Slamet Riyadi berhasil menembak mati seorang anggota Kempeitai yang sedang berjaga di lantai atas," tulis sebuah laporan.
Tanpa bermodal senjata yang memadai, aksi nekat yang dilakukan para pemuda Solo berhasil menaklukkan markas tersebut. Dalam waktu singkat, Sato dan anak buahnya memilih menyerah dengan mengibarkan bendera putih. Markas Kempeitai pun jatuh ke tangan rakyat.
Gara-gara aksi nekatnya tersebut, pemerintah memberikan pangkat mayor. Pangkat itu diterimanya saat usianya masih 19 tahun, sekaligus menjadi Komandan Batalyon II TKR.