Ombudsman: Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun dalam hukuman mati
Adrianus mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung harus benar-benar cermat dalam mengambil keputusan.
Anggota Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan lembaga Kejaksaan Agung seharusnya menjadi lembaga terpercaya untuk menangani kasus-kasus hukum. Hal ini terkait laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat yang melaporkan Jaksa Agung HM Prasetyo yang dinilai melakukan maladministrasi dalam bentuk eksekusi mati terhadap Humprey Ejike Jefferson.
"Bukankah Kejaksaan Agung sebagai eksekutor itu adalah the highest due process quality (kualitas proses yang paling tinggi dalam penegakan hukum). Seharusnya tidak boleh ada kesalahan sedikitpun, tidak boleh ada ruang kesalahan," tegas Adrianus saat menerima laporan pengaduan LBH Masyarakat soal kasus terpidana eksekusi mati kasus narkoba jilid III di Ombudsman, Jakarta, Senin (8/8).
Lebih jauh Adrianus mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung harus benar-benar cermat dalam mengambil keputusan, sehingga tidak merugikan korban atau terpidana mati tersebut.
"Kedua ini adalah terkait hal yang sangat serius (eksekusi hukum mati)," tandasnya.
Menurutnya, kesalahan dalam mengambil keputusan terhadap hukuman mati bisa sangat fatal.
"Kemudian ada penyimpangan. Kalau dalam persoalan sehari-hari okelah, misalnya salah ketik. Nah ini sampai hal yang sangat serius seperti ini sampai salah juga. Ini menurut saya menunjukkan keparahan dari institusi kejaksaan," beber Andrianus.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dan anggota tim kuasa hukum salah satu terpidana mati yang dieksekusi mati pada Jumat 29 Juni lalu yakni Humprey Ejike Jefferson mendatangi Ombudsman melaporkan Jaksa Agung HM Hendro Prasetyo telah melakukan maladministrasi terhadap eksekusi mati yang dinilai tidak sah dan melawan hukum.
"Kejaksaan Agung telah melanggar ketentuan sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Grasi dan Undang-Undang PNPS tentang tata cara pelaksanaan eksekusi mati," kata Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan .
Dia menambahkan, penolakan grasi seharusnya menunggu jawaban dari presiden. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 jo Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi yang menyatakan terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan (eksekusi mati) sebelum keputusan dari presiden.