Operasi Dwikora, perang gerilya di perbatasan Malaysia
Seragam ABRI diganti dengan seragam hijau TNKU. Identitas mereka pun dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan RI.
Perintah Presiden Soekarno untuk menggayang Malaysia, dijawab pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka menggelar operasi Dwikora di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Serawak sekitar tahun 1964.
Tidak ada pernyataan perang resmi seperti saat operasi militer Trikora merebut Irian Barat. Karena itu ABRI tidak mengirim pasukan secara terbuka. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.
Walau disebut gerilyawan, sebagian besar anggotanya justru pasukan elite ABRI. Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari TNI AU. Mereka bertempur bukan sebagai anggota ABRI tapi TNKU. Seragam ABRI diganti dengan seragam hijau TNKU. Identitas mereka pun dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan Indonesia.
Tugas gerilyawan ini mengganggu perbatasan di sepanjang Sabah dan Serawak. Mereka juga bertugas melatih warga Kalimantan Utara tata cara bertempur.
Pasukan Malaysia yang terdesak kemudian meminta bantuan Inggris. Tidak tanggung-tanggung Inggris langsung mengirim sekitar satu batalyon pasukan komando Special Air Services (SAS). Inilah pasukan elite terbaik Inggris yang reputasinya melegenda ke seluruh dunia. Inggris juga mengirim pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia baru dan Malaysia.
Komandan Pasukan Inggris di Malaya, Mayor Jenderal Walter Walker merasa perlu mendatangkan SAS karena merasa hanya pasukan elite ini yang bisa membendung pasukan gerilya asal Indonesia. Walker tak mau jatuh korban lebih banyak di kalangan Inggris.
Pertempuran antara SAS dan Gurkha melawan gerilyawan TNKU berlangsung seru. Lebatnya rimba Kalimantan menjadi saksi pertempuran yang tak pernah diberitakan media tersebut. Kadang pasukan Inggris mengalahkan gerilyawan TNKU dalam pertempuran. Kadang gerilyawan TNKU yang memukul pasukan SAS dan Gurkha. Sulit untuk mencatat secara pasti data-data pertempuran.
Dalam sebuah pertempuran di Kampung Sakilkilo tanggal 10 Juli 1964, tercatat TNKU meraih kemenangan. Saat itu dua peleton Gurkha melawan satu peleton TNKU. Dalam serangan tersebut, TNKU berhasil menewaskan 20 orang Gurkha tanpa satu pun korban jatuh di pasukan gerilyawan.
Dalam klaim, Indonesia mengaku pernah menembak jatuh empat pesawat tempur Inggris dengan tembakan penangkis serangan udara. Tapi ABRI pun kehilangan sebuah Hercules C-13008 milik TNI AU.
Tanggal 2 September 1964, tiga Hercules terbang membawa 100 orang pasukan PGT. Ada juga 10 gerilyawan China Melayu, dan dua orang gadis untuk penerjemah.
Hercules itu bertugas menerjunkan pasukan PGT di Kalimantan. Ikut dalam pesawat tersebut Komandan Resimen Tim Pertempuran (PGT) Letkol Sugiri Sukani. Sugiri Sukani sudah berpengalaman terjun di belantara. Saat Trikora, Sugiri juga yang memimpin pasukan PGT terjun di Irian.
Namun malang, satu Hercules jatuh ke laut sebelum berhasil menerjunkan pasukan. Sekitar 40 orang gerilyawan bersama Letkol Sugiri dan Letnan I Udara Suroso, tewas.
Perang gerilya ini memakan biaya besar bagi Indonesia dan Inggris. Saat itu pimpinan ABRI merasa jika diteruskan, konflik Dwikora ini tak akan menguntungkan Indonesia. Apalagi tahun 1965, ekonomi Indonesia sedang jatuh. Sejumlah pimpinan ABRI dan Malaysia pun sebenarnya sudah membuka sebuah dialog untuk perdamaian.
Ditambah lagi, Gerakan 30 September meletus di Jakarta tahun 1965. Mayjen Soeharto yang mengambil alih kepemimpinan militer memilih menarik kekuatan pasukan-pasukan ABRI dari Kalimantan. Dengan pasukan itulah Soeharto fokus memerangi Partai Komunis Indonesia.
Ketika berkuasa, Soeharto pun enggan meneruskan konflik dengan Malaysia. Dua negara serumpun ini berdamai dan hidup berdampingan sebagai tetangga. Walau kadang ada saja yang membuat hubungan Indonesia dan Malaysia menghangat.