Pemerintah diminta abaikan keputusan akhir IPT soal tragedi 1965
PBB, kata Hikmahanto belum tentu menggubris kesimpulan akhir yang dibacakan hakim ketua IPT Zak Yacoob.
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah tidak usah reaktif menanggapi kesimpulan akhir dari Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT). Menurutnya, kesimpulan akhir IPT tidak mempunyai kekuatan hukum.
"IPT itu kan tidak memiliki kekuatan hukum. Bahkan di dunia internasional tidak diakui IPT. Jadi sebaiknya pemerintah tidak perlu reaktif menanggapinya. Diabaikan saja," ujar Hikmahanto Juwana kepada merdeka.com, Kamis (21/7).
Menurut Hikmahanto, IPT juga pernah terjadi di beberapa negara seperti Jepang dan Amerika Latin. Dia juga menilai sidang IPT yang digelar di Kota Den Haag Belanda berat sebelah.
"Dalam sidang itu hanya ada pengakuan dari korban sedang dari pihak pemerintah tidak ada. Pemerintah memang diundang tetapi pemerintah tidak hadir dengan alasan bahwa itu hanya peradilan semu atau sandiwara," ujarnya.
Menurut profesor ilmu hukum internasional termuda di Indonesia ini, adanya IPT karena adanya kefrustrasian sejumlah pihak terhadap sistem hukum yang ada di Indonesia. Mereka lalu membawa masalah ini ke IPT di Den Haag.
"Namun forum itu bagus juga untuk mereka yang jadi korban agar menyampaikan apa yang bisa mereka sampaikan. Namun di sisi lain ada juga pihak yang merasa jadi korban, misalnya sebelum peristiwa G 30 S, ada juga dari kelompok Islam dibantai. Nah menurut saya ini tidak perlu lagi dibesar-besarkan. Karena kalau kasus ini terus dibesarkan maka tidak akan ada kesudahannya," ujarnya.
Soal IPT yang akan membawa kesimpulan akhir ke PBB, Hikmahanto juga menyebut hal itu lumrah terjadi. PBB, kata Hikmahanto belum tentu menggubris kesimpulan akhir yang dibacakan hakim ketua IPT Zak Yacoob.
"PBB juga menerima banyak surat di Komisi HAM mereka. Sama saja lembaga lain baik yang resmi maupun tidak yang mengirimkan surat ke PBB, tapi bukan berarti harus ditindaklanjuti atau bakal ditindaklanjuti PBB," ujarnya.
Yang lebih penting kata Hikmahanto, pemerintah sekarang harus bisa merendam publik dan menjelaskan apa sebenarnya IPT. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat yang belum tahu IPT itu apa tidak terpancing.
"Sekali lagi, pemerintah tidak usah reaktif, tetapi harus menjelaskan apa itu IPT. Publik yang akan marah harus diredam, pemerintah harus bisa meredam putusan ini. Karena mereka yang terzalimi dengan PKI juga kemungkinan akan bereaksi dengan putusan ini bila tidak tahu," imbuhnya.
Sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional menyampaikan hasil keputusan akhir soal tragedi 1965. Majelis hakim menyatakan pemerintah Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa 1965.
Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut meliputi, pertama, pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang.
Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.
Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.
Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.
Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.
Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.