Pemerintah tutup opsi operasi militer untuk bebaskan sandera?
Menteri Pertahanan, mengatakan, membebaskan sepuluh warga Indonesia disandera kelompok Abu Sayyaf tidak bisa gegabah.
Sudah 17 hari, atau tepatnya 26 Maret 2016 sejak kelompok garis keras Abu Sayyaf yang berada di Filipina melaporkan telah menangkap dan menyandera 10 pelaut Indonesia. Menurut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan 50 juta peso untuk 10 WNI.
Hingga hari ini, pemerintah Indonesia bersikeras untuk tak menuruti kemauan kelompok Abu Sayyaf. Pemerintah beralasan, Indonesia tidak mau ditekan oleh kelompok kejahatan.
"Pemerintah tidak mau ditekan siapa pun. Apalagi ini oleh perampok, milisi, atau siapa pun. Pemerintah tidak mau karena hal itu kemudian harus membayar 50 juta peso seperti yang diminta. Tidak," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, di Kompleks Istana, Kamis (31/4).
Sejumlah cara pun telah ditempuh pemerintah Indonesia untuk membebaskan warganya tersebut. Salah satunya dengan mengajukan operasi militer ke pemerintah Filipina. Militer Filipina memiliki prinsip tersendiri, sehingga sulit mengizinkan pasukan asing terlibat dalam pembebasan sandera itu.
"Berdasarkan konstitusi, negara kami tidak mengizinkan adanya pasukan asing tanpa perjanjian khusus," kata juru bicara AFP, Brigadir Jenderal Restituto Padilla saat dihubungi wartawan, Rabu (30/4).
Sayangnya, opsi yang dipilih militer Filipina berbuah bencana. Sebanyak 18 tentara Filipina tewas saat mencoba menyerbu markas Abu Sayyaf di Pulau Jolo, Basilan.
Menyikapi tragedi tersebut, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu mengatakan, membebaskan sepuluh warga Indonesia disandera kelompok Abu Sayyaf di Pulau Basilan, Filipina, tidak bisa dengan gegabah. Alasannya karena menyangkut masalah keselamatan korban.
"Kita prosesnya negosiasi. Nego jadinya. Ada juga diplomasi. Kalau operasi militer, sandera kita dibunuh gimana? Nanti marah, disangkanya kok enggak bisa dilindungi," kata Ryamizard usai menghadiri Penataran Kader Organisasi (Takorna) XIV FKPPI di Secapa AD, Jalan Hegarmanah, Kota Bandung, Senin (11/4).
Pernyataan senada juga diungkapkan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq. Menurutnya, pemerintah tak perlu menggerakkan pasukan militer untuk membebaskan 10 WNI yang ditawan kelompok Abu Sayyaf. Sebab sebelumnya operasi militer Filipina memakan korban 18 prajurit di tangan kelompok Abu Sayyaf.
"Dengan kasus gagalnya operasi militer yang terakhir semakin membuktikan, kalau militer Filipina aja tidak mampu bagaimana kita bisa menjamin kalau misalnya pihak keamanan dari Indonesia di sana. Ini kan lebih beresiko lagi. Beresiko terhadap sandera dan pasukan yang kita kirim walaupun itu gabungan TNI-Polri," ujar Mahfudz di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/4).
Menurut Politikus PKS ini, gagalnya operasi militer tersebut memberikan isyarat penting bagi Indonesia. Menurutnya justru pemerintah harus mengedepankan diplomasi berasaskan rasa kemanusiaan.
"Kita harus lebih mempertimbangkan pendekatan-pendekatan kemanusiaan melalui jalur negosiasi. Walaupun ini tidak mengenakkan kita, tapi dalam prioritas kita terkait keselamatan mereka memang mau tidak mau," tuturnya.