Pemkot tak larang pendatang mengadu nasib di Makassar usai Lebaran
Pemkot tak larang pendatang mengadu nasib di Makassar usai Lebaran. Hanya saja, kata Nielma, yang ditegaskan adalah untuk memudahkan kaum urban atau pendatang baru berinteraksi di kota ini maka dokumen kependudukan harus dilengkapi untuk memudahkan akses layanan publik dengan bebas karena berdomisili secara resmi.
Fenomena pasca lebaran, terjadi booming warga atau banyak warga pendatang baru masuk ke ibu kota di kota-kota besar di Indonesia termasuk Makassar. Biasanya mereka pendatang baru dibawa oleh warga Makassar yang kembali dari mudik.
Kedatangannya didasari berbagai alasan, di antaranya untuk mengadu nasib atau bersekolah. Karena Makassar dianggap selain kota dengan pembangunan ekonomi yang cukup pesat, juga adalah kota pendidikan.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dinas Dukcapil) Kota Makassar, Nielma Palamba yang ditemui di kantornya, Selasa, (4/7) mengatakan, siapapun warga masuk di suatu kota dengan tujuan masing-masing adalah hak azasi. Tidak ada dasar hukum bagi pemerintah kota untuk melarang warga pendatang baru untuk masuk dan mengakses pelayanan di Kota Makassar.
"Pemerintah kota tidak punya dasar untuk melarang warga sekitar Kota Makassar untuk datang bekerja mengadu nasib atau bersekolah di Kota Makassar, itu adalah hak azasi. Kecuali jika ada Perda untuk mengusir warga-warga yang bukan domisili di Makassar, itu lain lagi. Tapi sepanjang ini, Perda seperti itu tidak ada. Dan saya pikir di daerah lain, Perda semacam itu juga tidak ada," kata Nielma Palamba.
Hanya saja, kata Nielma, yang ditegaskan adalah untuk memudahkan kaum urban atau pendatang baru berinteraksi di kota ini maka dokumen kependudukan harus dilengkapi untuk memudahkan akses layanan publik dengan bebas karena sudah berdomisili secara resmi. Salah satunya adalah melengkapi Surat Keterangan Pindah (SKP).
"Mau memulai pekerjaan, mau melamar pekerjaan misalnya, tentu dibutuhkan dokumen kependudukan, identitas diri. Yang jadi masalah ketika ada warga baru yang masuk ke Makassar tanpa tujuan yang jelas nantinya malah jadi gelandangan dan pengemis di jalanan. Nah itu akan membawa implikasi keruwetan kota," tutur Nielma.
Kalau sudah menyangkut gelandangan dan pengemis, imbuhnya, maka itu sudah ranah Dinas Sosial. Lalu jika sudah membawa dampak pengangguran maka itu sudah aspek ketenagakerjaan atau ranahnya Dinas Ketenagakerjaan.
Ditambahkan, sebagai pengawasan mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dari para pendatang baru itu, adalah sudah aturan tidak tertulis bahwa dalam 1 X 24 jam, siapapun warga yang masuk ke satu wilayah di Kota Makassar harus melaporkan diri kepada RT/RW di mana dia tinggal.
Kata Nielma Palamba, di sinilah peran ketua-ketua RT/RW untuk memantau setiap warga yang ada di lingkungannya karena jika terjadi sesuatu maka yang terlebih dahulu dimintai keterangannya adalah ketua RT/RW itu.
"Para ketua RT/RW harus pro aktif membuat aturan sendiri dalam lingkungannya," tandasnya.
Ditanya apakah akan melakukan operasi yustisi, Nielma Palamba menegaskan, sekali lagi tidak ada dasar hukum untuk melakukannya karena hal semacam itu terkait dengan pengadilan. Jadi kalau ada daerah lain yang menyebut lakukan operasi yustisi, sebenarnya itu bukan operasi yustisi melainkan semacam pengawasan saja yang intinya adalah sosialisasi yang memuat imbauan-imbauan bahwa ketika akan beraktifitas sedianya selalu membawa dokumen kependudukannya.
"Dan sosialisasi-sosialisasi semacam itu bukan hanya kami lakukan pasca lebaran, tapi juga di waktu-waktu tertentu dilakukan di pasar-pasar, mal-mal di antaranya memeriksa apakah sudah memiliki KTP elektrik atau tidak. Jika belum maka disarankan untuk mengurusnya, segera melakukan perekaman. Yah hanya sebatas itu," tandasnya.